Muslim Minimalism (Lebih baik lebih sedikit dalam Islam)

Muslim Minimalism (Lebih baik lebih sedikit dalam Islam)
Ilustrasi: Styled by Ayudia C." (ANTARA/HO)

MEDIA IPNU - Hidup sederhana sering kali dianggap sebagai pilihan menarik, terutama ketika kita mempertimbangkan pandangan para filsuf yang berargumen bahwa hidup dengan kesederhanaan memberikan makna dan kepenuhan yang lebih dibandingkan dengan kehidupan yang dikelilingi kemewahan.

Kadang kala kita merasa bahwa kebahagiaan berhubungan dengan kepemilikan barang. Namun, kenyataannya, kita sering kali terjebak dalam pola hidup maksimalis, di mana kita mengumpulkan banyak barang dari jenis yang sama. Coba kita lihat pada diri kita sendiri, berapa banyak topi yang kita punya? Atau berapa banayak jam tangan, sepatu, atau bahkan kendaraan serupa yang kita punya. Mungkin lebih dari satu,  dua,  tiga.. bahkan ada yang jumlahnya lebih banyak lagi. Ini menciptakan kesan bahwa kita membutuhkan lebih banyak, padahal yang kita butuhkan adalah barang yang benar-benar esensial.

Psikolog, Amy Morin salah satu yang memberikan pandangan menarik terkait hidup sederhana. Selama lebih dari dua tahun, dia tinggal diperahu layar untuk merenungkan apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk meraih kebahagiaan. Menurut Morin, kita memerlukan ruang—baik fisik maupun mental. Morin menyadari mempunyai sedikit benda artinya mempunyai sedikit barang untuk  diurus dan lebih banyak waktu untuk hal hal yang penting dalam hidup seperti hal hal yang dia cintai, dia hargai dan peluang yang ingin diambil. Semakin banyak ruang yang kita miliki semakin bebas kita menikmati hal hal yang kita punya.

Pola hidup minimalis adalah membeli barang yang memang betul betul kita butuhkan. Akan tetapi, banyak orang seringkali membeli barang berdasarkan keinginan sesaat, karena mengikuti tren yang sedang viral, yang pada akhirnya berujung pada penumpukan barang yang tidak terpakai. Hal ini dapat mengganggu kesehatan mental kita, karena ruangan yang sempit dan berantakan menciptakan stres.

Contoh lain misalnya, saat kita pergi ke mall dengan daftar belanja, tetapi tergoda untuk membeli barang-barang yang tidak ada dalam daftar. Keinginan sesaat ini sering kali membuat kita membeli lebih banyak dari yang direncanakan. Pada akhirnya kita justru membeli barang tiga kali lipat dari catatan yang kita buat sebelumnya. Inilah yang disebut pola pikir yang maksimalis dalam mengkonsumsi

Padahal dalam Islam, kita diajarkan untuk tidak berlebihan. Dalam Al-Qur'an, Surat Al-A'raf ayat 31 menyatakan: "Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan." Konsumsi yang berlebihan, atau mubazir, adalah perilaku yang tidak dianjurkan. Nabi Muhammad SAW menyebut orang yang mubazir sebagai saudara setan, untuk menegaskan betapa buruknya pola hidup itu. 

Pola hidup yang mubadzir inilah yang disebut pola hidup maksimalis. Sedangkan pola hidup yang minimalis adalah pola hidup yang seharusnya di jalankan oleh seorang muslim. Tidak hanya dalam hal mengkonsumsi makan dan minum tapi dalam hal konsumsi apapun  seperti barang, jasa dan sebagainya.

Lalu bagaimana kita sebagai muslim hidup minimalis karena islam?

Tahukah kamu bahwa selain filsuf Barat, penggagas utama gaya hidup minimalis adalah orang Muslim? Kita sering melupakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok pertama yang menerapkan hidup sederhana. Konsep gaya hidup minimalis saat ini berfokus pada kesederhanaan, kesadaran, dan pengurangan keterikatan terhadap barang-barang, sambil tetap memprioritaskan kebutuhan hidup daripada keinginan semata. Hal ini sangat terkait dengan ajaran Islam, di mana hidup minimalis dikenal dengan istilah Zuhud dan Qonaah.

Zuhud adalah perilaku meninggalkan kemewahan dan kekayaan berlebihan, serta menghindari hal-hal yang kurang bermanfaat. Sementara itu, Qonaah adalah sikap merasa cukup dengan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam sebuah riwayat, ada kisah di mana Allah SWT menawarkan kepada Rasulullah emas sebanyak butiran pasir di gurun Mekkah, tetapi Rasulullah menolak, dan berkata: “Ya Allah, lebih baik aku lapar satu hari dan kenyang satu hari, sehingga saat kenyang aku bisa bersyukur dan memuji-Mu, dan ketika lapar, aku akan meratap dan meminta hanya kepada-Mu.”

Selain itu Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim, terdapat gambaran yang jelas tentang sifat zuhud dan kesederhanaan Nabi Muhammad. Suatu ketika, Umar bin Khattab mengunjungi rumah Nabi dan menangis tersedu sedu melihat betapa sederhana dan lapangnya tempat tinggal Nabi. Tempat tidurnya tidak terbuat dari pemadani, melainkan hanya tikar biasa, yang terasa tidak layak untuk seorang pemimpin Madinah dan utusan Allah. Nabi Muhammad bertanya kepada Umar, "Wahai putra Khattab, mengapa engkau menangis?" Umar menjawab, "Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah? Engkau tidur hanya beralaskan pelepah kurma, sementara raja-raja Romawi dan Persia hidup dalam kemewahan. Padahal, engkau adalah utusan Allah yang rela hidup sederhana."

Rasulullah kemudian bersabda, "Wahai putra Khattab, apakah engkau tidak rela jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka? Bukankah yang kita butuhkan di dunia hanyalah ini?"

Nabi tidak hanya mengajarkan umatnya untuk tidak hidup secara mubadzir, tetapi juga menerapkan pola hidup ini dalam keluarganya. Ketika menikahkan putrinya, pakaian yang dibawa putrinya hanyalah satu pakaian dan pakaian yang dipakainya saat itu. Ketika Abu Bakar melihatnya, ia bertanya kepada Rasulullah, "Apakah hanya ini yang akan dibawa Fatimah dalam pernikahannya?" Rasulullah menjawab, "Bukankah hanya ini yang menjadi kebutuhan manusia di dunia?" (HR. Muslim)

Ini mengisyaratkan bahwa kita seharusnya cukup dengan apa yang kita makan dan pakai, sementara yang lebih bisa disedekahkan kepada yang membutuhkan.

Dalam sebuah kajian Ustadz Aan Candra Thalib, beliau menjelaskan bahwa ada 3 filosofi rezeki: makanan, baju dan infaq. Makanan adalah apa yang kita konsumsi, yang menjadi sumber kekuatan untuk beribadah dan menjalani kehidupan di dunia. Namun, pada akhirnya tubuh kita akan rusak dan mati. Baju, yang kita gunakan untuk menutupi aurat, juga akan lusuh dan rusak seiring waktu. Berbeda dengan keduanya, infaq adalah harta yang kita belanjakan di jalan Allah, yang akan dipanen di akhirat. Infaq tidak akan rusak atau busuk, karena sifatnya kekal.

 

Hal ini bermakna bahwa hidup di dunia ini bersifat sementara, dan kita akan berpindah ke kehidupan yang abadi di akhirat. Proses ini bisa kita analogikan dengan pindah rumah. Coba kita pikirkan saat kita ingin pindah rumah, namun kita memiliki barang yang banyak dirumah lama, yang perlu kita bawa untuk ditempatkan dirumah baru. Semakin banyak barang yang kita bawa untuk pindah semakin kita repot, bukan?

Barang-barang tersebut perlu dirapikan, dikemas, dan dipindahkan, yang memerlukan tenaga, biaya, dan waktu. Proses ini mungkin bisa meminta bantuan orang lain. Namun bagaimana cara kita membawa yang kita miliki dari dunia ke akhirat? karena sejatinya hari perhitungan itu tanggung jawab individu. Tidak ada yang membantu membawa barang kita disana, tidak ada juga jasa antar jemput atau kirim barang untuk memindahkan bawaan kita. Semua yang kita miliki akan diperhitungkan, dan semakin banyak harta yang kita miliki, semakin lama proses perhitungan tersebut.

Minimalis juga ada kaitannya dengan bagaimana kita bisa menjadi orang yang bermanfaat dan alasan mengapa kita ada di dunia. Dengan mengadopsi gaya hidup minimalis, kita dapat menghindari perilaku mubadzir yang dianggap sebagai gaya hidup setan. Ini juga sejalan dengan perintah Allah untuk tidak berlebihan. Gaya hidup ini memberi kita kesempatan untuk bersedekah kepada yang membutuhkan dan memberikan barang-barang yang tidak kita perlukan kepada mereka.

Maka kita belajar bahwa gaya hidup minimalis ini adalah  sesuatu yang baik yang punya landasannya dalam Islam dan diteladankan oleh nabi Muhammad.  Sehingga penting sekiranya bagi kita untuk mengikuti gaya hidup ini sebagian sunahnya nabi Muhammad yaitu hidup secara sederhana (minimalis). Minimalisme dalam Islam berarti meminimalkan kecintaan kita kepada dunia dan memaksimalkan kecintaan kita kepada Akhirat yaitu kepada Allah SWT.

Penulis: Najwa Inaya Salsabila (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Baca juga:

INFO: Ikuti terus informasi berita terikini dari Media IPNU dengan follow Instagram @mediaipnu. Anda juga bisa ikut berkontribusi mengirimkan berita kegiatan IPNU IPPNU di daerah Rekan/Rekanita dengan mengirim email ke redaksimediaipnu@gmail.com atau klik di SINI.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama