Hikmah Badiuzzaman Said Nursi di Era Digital, Menjaga Nilai Keilmuan dan Adab

Hikmah Badiuzzaman Said Nursi di Era Digital, Menjaga Nilai Keilmuan dan Adab
Ilustrasi: Badiuzzaman Said Nursi | swararahima.com

MEDIA IPNU - Di era digital yang serba cepat dan penuh informasi, para santri dihadapkan pada tantangan baru dalam menjaga kualitas ilmu dan adab. Sebagai generasi penerus yang dididik di pesantren, mereka memiliki kewajiban untuk tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi.

Namun, dalam proses ini, mereka harus tetap menjaga nilai-nilai keilmuan dan adab yang diajarkan dalam tradisi pesantren. Said Nursi, seorang ulama besar asal Turki, memberikan panduan penting tentang bagaimana ilmu harus dipelajari dan disampaikan dengan hikmah, yang sangat relevan bagi santri di era digital ini.

Said Nursi adalah seorang ulama besar asal Turki yang dikenal melalui karya monumental Risalah Nur (Epistle of Light). Lahir di wilayah timur Turki, Nursi menekankan pentingnya ilmu yang mengarah pada kedekatan dengan Allah.

Di tengah kemajuan dunia modern, ia berusaha menjembatani keilmuan Islam dengan pengetahuan ilmiah, memperkenalkan konsep bahwa ilmu sejati adalah ilmu yang tidak hanya meningkatkan akal, tetapi juga menguatkan iman. Selalu menekankan bahwa ilmu bukan hanya untuk kepentingan duniawi, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam salah satu karyanya, Risalah Nur, Nursi menulis, "Ilmu yang sejati adalah ilmu yang membawa kepada Allah, yang menyinari hati dan menguatkan iman."

Pendekatan ini sangat penting bagi santri, karena meskipun mereka terpapar oleh berbagai kemajuan teknologi, tetap harus memprioritaskan kualitas keilmuan yang tidak hanya fokus pada penguasaan teknologi, tetapi juga pada pemahaman agama yang mendalam.

Di era digital, santri bisa dengan mudah mengakses berbagai macam informasi, baik itu tentang agama maupun ilmu pengetahuan umum. Namun, tanpa adanya bimbingan yang tepat, mereka bisa terjerumus pada ilmu yang tidak bermanfaat. Said Nursi mengajarkan kita untuk menuntut ilmu dengan niat yang tulus dan mencari ilmu yang memberi manfaat bagi diri sendiri dan umat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu  yang  mendekatkan kita pada kebaikan dan menumbuhkan rasa tanggung  jawab terhadap masyarakat.

Baru-baru ini, Gus Miftah menjadi sorotan karena pernyataannya yang dianggap merendahkan seorang pedagang es teh di sebuah acara pengajian di Magelang. Meski ia mengaku ucapannya hanyalah candaan, kejadian  ini  memicu  banyak  kritik  dari masyarakat, termasuk teguran dari pemerintah.

Dalam konteks ini, peristiwa tersebut  mengajarkan kita pentingnya menjaga adab dalam berbicara, terutama di hadapan publik. Seperti dikatakan Prabowo Subianto, menghormati pedagang kecil adalah cerminan akhlak seorang muslim yang baik

Salah satu tantangan besar yang dihadapi santri di dunia digital adalah menjaga adab dalam mencari dan menyebarkan ilmu. Di dunia maya, banyak sekali informasi yang mudah didapatkan, namun sering kali kualitas dan kebenarannya diragukan. Di sinilah adab memainkan peran penting.

Said Nursi mengingatkan bahwa adab dalam menuntut ilmu adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran itu sendiri. Dalam bukunya, Nursi mengatakan, "Ilmu tanpa adab hanya akan menciptakan kebingungan, sementara adab tanpa ilmu adalah kebodohan."

Santri yang baik tidak hanya menguasai ilmu dengan hati yang bersih, tetapi juga tahu cara menyampaikan ilmu dengan penuh kesantunan. Di dunia digital, ini berarti menjaga perilaku online, menghormati perbedaan pendapat, dan tidak menyebarkan informasi yang belum tentu benar.

Sebagai contoh, ketika ada isu agama yang viral, santri yang terdidik dengan adab akan mencari sumber yang terpercaya dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya.

Said Nursi juga menekankan pentingnya berdakwah dengan hikmah, yaitu dengan cara yang bijaksana dan penuh pertimbangan. Di era digital, dakwah dapat dilakukan melalui media sosial, blog, atau bahkan video pendek. Namun, dengan mudahnya informasi tersebar, dakwah yang tidak dijaga kualitas dan adabnya bisa menimbulkan kesalahpahaman dan bahkan perpecahan.

Santri di era digital harus mampu menyaring informasi dengan bijak, menghindari provokasi, dan menyampaikan dakwah dengan penuh kasih sayang.

Nursi mengajarkan bahwa dakwah harus dilakukan dengan kesabaran dan tidak terburu- buru. Sebagaimana ia menyatakan,

"Dakwah yang terburu-buru tanpa perhitungan hanya akan menyebabkan kebingungan, sementara dakwah yang bijaksana akan membawa kedamaian."

Oleh karena itu, santri harus selalu mengingat bahwa dalam setiap tindakan, baik di dunia maya maupun nyata, ada tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.

Kasus Gus Miftah mengingatkan kita pentingnya menjaga adab dan hikmah dalam berbicara, baik dalam candaan maupun dakwah serius. Sebagai santri dan dai, menerapkan nilai-nilai seperti yang diajarkan oleh Said Nursi dapat membantu menjaga keilmuan dan akhlak di tengah tantangan era digital. Dengan demikian, dakwah tidak hanya menjadi media penyebaran ilmu, tetapi juga penguatan ukhuwah Islamiyah.

Penulis: Salastia Paramita Nurhuda (Mahasiswa UIN Jakarta)

Artikel untuk memenuhi Tugas UAS Teknik Bimbingan dan Penyuluhan Melalui Media Massa, NIM: 11210520000006, Kelas: 7A BPI)

Baca juga:

INFO: Ikuti terus informasi berita terikini dari Media IPNU dengan follow Instagram @mediaipnu. Anda juga bisa ikut berkontribusi mengirimkan berita kegiatan IPNU IPPNU di daerah Rekan/Rekanita dengan mengirim email ke redaksimediaipnu@gmail.com atau klik di SINI.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama