Antara Agama dan Negara Menurut Pemikiran Mohammad Natsir |
MEDIA IPNU - Antara Agama dan Negara Menurut Pemikiran Mohammad Natsir. Antara agama dan negara selalu menjadi kajian menarik untuk dikaji, karena ketegangan antara agama dan negara berakibat pada peminggiran ruang privat. Agama berada pada ruang tersebut dipojokkan perannya pada wilayah pribadi.
Pemisahan antara
agama dan negara akhirnya melahirkan peran sekulerisme, yaitu sebuah paham yang
memisahkan antara wilayah agama dengan negara.
Dalam bagian
sosial, para analisis kontemporer melihat radikalisme agama (merupakan gejala
akhir-akhir ini) merupakan akibat dari peminggiran agama pada ruang privat,
sehingga ekspresi spiritual itu sendiri terputus dari ruang publik. Hal
tersebut setidaknya menjadi pijakan awal untuk memahami gagasan Natsir tentang
agama, negara dan pancasila.
Riwayat Hidup
Mohammad Natsir
Mohammad Natsir |
Mohammad Natsir
adalah seorang intelektual muslim, pembaru dan politikus muslim terkenal di
dunia Islam dan disegani oleh kawan maupun lawan. Lahir di Alahan Panjang,
Sumatera Barat, Jum'at Legi tanggal 17 Juli 1908/17 Jumadil Akhir 1326.
Nama lengkapnya
Mohammad Natsir dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Ayahnya bernama Idris Sultan
Saripado seorang pegawai rendah pemerintah Belanda Pernah menjadi juru tulis
setelah itu menjadi Jaksa. Ibunya bernama Hadijah.
Ketika berusia 8
tahun ia belajar di HIS (Holandsch Inlandsch School) Adabiyah di Padang
dan HIS pemerintah di Solok serta HIS di Padang. Ia memulai masa sosialisasi
keagamaannya dengan para tokoh ulama pembaru di daerahnya dan sosialisasi
intelektualnya dengan pendidikan barat (Belanda).
Setelah tamat HIS
ia meneruskan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP di
Padang.Ia aktif pada Jong Islamieten Bond cabang Padang dan Pandu
Natripji yang diketuai oleh Sanusi Pane (tokoh sastrawan terkemuka). Di JIB
inilah Natsir melatih kepemimpinan dan pemahan politiknya.
Pada tahun 1927 ia
melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School) setingkat SMA di
Bandung. Di sini ia lebih menekuni
ilmu pengetahuan Barat. Antara lain peradaban Islam, Romawi, Yunani dan Eropa.
Melalui buku-buku berbahasa Arab, Inggris, Perancis, dan Belanda.
Dalam usia 21 tahun Natsir telah
menguasai empat bahasa asing yaitu, Belanda, Arab, Inggris, dan Perancis. Saat
di MULO dan AMS ia mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Ia juga belajar
mendalami gerakan Islam dengan tokoh utama Persatuan Islam (Persis),
sebuah organisasi militan Islam yang Radikal dan keras dalam membela
prinsip-prinsip dan kemurnian ajaran Islam.
M Natsir aktif
dalam kegiatan pendidikan dan sosial yang diselenggarakan oleh persis Bandung.
Nilai-nilai keagamaan persis inilah yang ikut memberikan pengaruh pada visi
keagamaan Natsir, untuk selalu konsisten dalam membela kebenaran Islam dalam
setiap aktivitas politiknya. Namun ia tetap berpandangan moderat. Tidak
fundamentalis, karena ia berhasil mensinergikan antara ilmu agama dan wawasan
pengetahuan Barat yang dikuasainya.
Tahun 1930 M
Natsir menamatkan sekolah AMS dengan prestasi sangat baik, Lalu ia menerima
panggilan perjuangan politik dan dakwah keagamaan bagi kepentingan bangsa dan
agama lain. Ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang gadis bernama
Nurnahar pada 20 Oktober 1934 di Bandung.
Pemikiran Mohammad
Natsir Antara Agama dan Negara
Negara adalah
suatu intuisi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus menurut Mohammad
Natsir intuisi ini adalah sebagai suatu badan dan organisasi yang mempunyai
tujuan khusus serta dilengkapi dengan alat-alat material dan
peraturan-peraturan yang diakui oleh umum.
Maka dari itu
berdirinya suatu negara sebagai sebuah intuisi harus memiliki wilayah, rakyat,
pemerintah, kedaulatan, Undang-undang Dasar, sumber hukum dan aturan-aturan
lainnya.
Dengan kedaulatan
tersebut, menurut Mohammad Natsir negara memiliki cakupan seperti, meliputi
seluruh masyarakat dan segala intuisi yang ada didalamnya. Lalu mengikat atau
mempersatukan intuisi-intuisi tersebut dalam suatu peraturan hukum. Menjalankan koordinasi dan
regulasi dari seluruh bagian masyarakat.
Termasuk pula memiliki hak untuk memaksa anggota
untuk mengikuti peraturan-peraturan dan hukum yang ditentukan olehnya atau oleh
pemimpin. Selanjutnya
mempunyai tujuan untuk memimpin dan memberikan bimbingan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai seorang
ideolog muslim, Mohammad Natsir sangat meyakini kebenaran Islam sebagai suatu
ideologi kenegaraan. Islam dalam pandangan Natsir mempunyai dua cakupan
kehidupan yaitu “Hidup duniawi dan ukhwari itu pada hakikatnya, hanyalah dua
fase yang satu bersambungan dengan yang lain, sebagaimana bersambungnya malam
dengan siang, dan siang dengan malam, menurut hukum peredaran angkasa dalam
sistem tertentu. “
Berdirinya Negara
menurut Mohammad Natsir itu bukan sebagai tujuan utama, tetapi alat untuk
menjamin supaya aturan-aturan yang salah satunya terdapat dalam al-quran dan
sunah nabi Muhammad SAW dapat berlaku dan berjalan
seperti mestinya.
Jadi menurut
Natsir tujuan utama dari berdirinya syarat adalah kesempurnaan berlakunya
undang-undang baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu
atau sebagai anggota masyarakat.
Pandangan Mohammad
Natsir berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kerohanian,
sosial dan politik Islam yang terkandung di dalam al-quran dan al hadits, serta
menyesuaikan dengan perkembangan zaman dalam peradaban umat manusia didasarkan
pada keyakinan akan tauhid yang menurutnya mengandung dua sisi yaitu di sisi habl
min Allah (perhubungan antara manusia dan tuhan) Islam habl min annas
(hubungan manusia dengan manusia).
Islam menurut
Natsir tidaklah mengisahkan urusan rohani dan malah akan menjadi dasar bagi
kehidupan dunia. Hal ini bermakna bahwa etika keagamaan yang bercorak
universal, akan ditekankan dalam ajaran Islam meskipun menjadi dasar dalam
kehidupan politik.
Jadi politik itu
bukan suatu yang nampak netral. Tetapi kebocoran ataupun kesucian politik
tergantung pada sejauh mana manusia yang terlibat dalam politik itu mampu
menjadikan asas-asas kerohanian sebagai pedoman dalam berperilaku politik
mereka.
Mohammad Natsir
mengatakan tidak melihat Islam sebagai ad-din wadaulah (agama dan
negara) secara sekaligus, menurutnya negara sebagai sesuatu yang perlu untuk
menegakkan perintah-perintah agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat
belakang dan bukan sebagai lembaga keagamaan.
Maka dari itu,
tujuan negara sebagai sebuah institusi yang paling penting itu menurut Natsir
adalah dalam rangka penegakan syariah, keyakinannya di dasarkan pada rumusan
konseptual bahwa undang-undang yang dapat dilaksanakan jika ada otoritas yang
melaksanakan penerapan hukum yaitu melalui institusi negara.
Sedangkan proses
berdirinya negara tersebut yaitu karena adanya keinginan dari kaum muslimin
untuk melaksanakan atau menjalankan perintah Allah SWT. Dengan berdirinya
sebuah negara tersebut yang bercorak Islam dalam suatu wilayah dapat memaksakan
menerapkan tujuan dari kehidupan bersama.
Jadi kehidupan
bernegara itu menurut Natsir adalah suatu keharusan dalam kehidupan manusia
yang bermasyarakat dan untuk mewujudkan keteraturan agar mampu mewujudkan
kepentingan bersama dalam masyarakat, karena dengan adanya negara dan alat-alat
kenegaraan mereka dapat memaksakan suatu keinginan bersama untuk kebaikan dan
kemaslahatan bersama pula.
Natsir pun pernah
mengemukakan bahwa sejauh menyangkut umat Islam, demokrasi adalah hal yang
pertama, sebab kemungkinan Islam berhasil dalam suatu sistem yang demokratis.
Melalui sistem
demokrasi mereka mempunyai kesempatan membuat peraturan hukum sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam. Juga memberikan hak kepada rakyat supaya mengkritik,
meluruskan pemerintahan yang dzalim. Bahkan kalau perlu memberikan hak kepada
rakyat untuk menghilangkan kezaliman tersebut dengan kekuatan fisik. Dasar
pemerintahan negara, menurut Natsir adalah Islam.
Telah dijelaskan
juga sebelumnya bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah
ingin menjadi hamba Allah dengan artian agar mendapat kejayaan dunia dan
akhirat kelak. Ia pun meyakini tentang prinsip-prinsip Islam tentang syura lebih
dekat kepada urusan-urusan demokrasi modern, dengan meletakkan prinsip-prinsip
dan etik keagamaan sebagai panduan dalam mengambil keputusan. Sistem kenegaraan
ini ia sebut dengan theistic democracy. Suatu negara demokrasi dengan
tetap menjadikan agama Islam sebagai dasar konstitusi negara.
Natsir setuju jika
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Menurutnya, Pancasila dianut sebagai
dasar rohani, akhlak, dan susila oleh bangsa Indonesia. Natsir memberikan
tafsiran tentang Pancasila:
Pancasila
adalah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus kita laksanakan,
terlaksananya di dalam negara dan bangsa kita. Maka, apabila ditinjau dari sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menegaskan kepada segala warga negara dan
penduduk negara, dan dunia luar, bahwa sesungguhnya seorang manusia tidak akan
dapat memulai kehidupan menuju kebajikan dan keutamaan, kalau ia belum dapat
menyadarkan dan mempersembahkan dirinya kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka,
bagaimana Al-Quran akan bertentangan dengan sila pertama itu? Dalam pengakuan
Al-Quran, Pancasila itu akan hidup subur. Satu dengan yang lain tidak apriori
bertentangan tapi tidak pula identik (sama).
Natsir melihat
bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran Islam. Selanjutnya
untuk memahami pemikiran Natsir tentang agama dengan Negara kita perlu memahami
dua hal berikut:
1) Faktor
situasi politik pada saat terjadinya polemik pada tahun 1940an yang memunculkan
polemik dan pertarungan ideologi antara Kaum nasionalis Islam dengan kalangan
netral agama.
2) Faktor
emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim, yang Melahirkan gagasan-gagasan
definitif tentang pemikiran Soekarno yang cendrung ke arah sekuler.
Seperti yang sudah
dibahas di pembahasan atas, bahwa Natsir ini menolak paham sekuler karna paham
tersebut mengabaikan nilai-nilai Islam, membahayakan bagi umat Islam, dan Paham
kaum sekularis juga memandang konsep-konsep Tuhan dan agama merupakan hasil
ciptaan manusia.
Mempertahankan Islam
dari Pemahaman Pemisahan antara
Agama dan
Negara
Soekarno vs
Mohammad Natsir
Natsir tidak suka
dengan pemikiran Soekarno karena Soekarno berkiblat pada pembaharuan Islam di
Turki, Soekarno menganalisis sebab-sebab pemisah agama dari negara. Substansi
uraian Soekarno adalah keberpihakannya pada gagasan sekularisasi yang dilakukan
oleh Kemal Attaturk.
Dasar argumen
Soekarno adalah bahwa agama merupakan persoalan akherat yang hanya bersangkutan
antara individu dengan Tuhannya. Sedangkan persoalan negara adalah murni
persoalan duniawi dan kemasyarakatan.
Menurut Soekarno
dalam sejarah Islam tidak pernah ada yang dinamakan Negara Islam. Nabi Muhammad
dalam pandangannya adalah bukan seorang Negarawan tetapi hanya seorang pemimpin
spiritual. Soekarno,
dalam hal ini mengutip tulisan Abdul Raziq, buku tersebut berisi
bahwa agama dan kekuatan politik adalah dua dimensi kehidupan yang berbeda.
Menurut Raziq pula
khalifah bukan pemimpin umat dalam masalah agama dan dunia. Persatuan agama dan
Politik dalam Islam tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan dianggap sebagai
kekeliruan dalam memahami hakikat misi nabi.
Raziq juga
mengungkapkan bahwa Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad hanyalah
merupakan aturan hukum yang berkaitan dengan masalah agama sehingga Islam
memberikan aturan moral tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan
pemikiran Raziq itulah Soekarno menuntut agar ada pemisahan yang tegas antara
agama dan kekuasaan politik.
Dalam pandangan
Soekarno sendiri, penyatuan agama dan negara akan membangkitkan caesaropapisme
yaitu agama sebagai alat politik penguasa dan agama juga akan menjadi alat
penindas.
Natsir melihat
pemikiran-pemikiran Soekarno diatas adalah sebagai sebuah distorsi intelektual
dan sejarah. Apabila Soekarno sepakat dengan gerakan-gerakan Kemal Attarturk
yang memisahkan agama dengan negara. Dalam kerangka berfikir Natsir, negara
adalah alat untuk merealisasikan syariat Islam. Tanpa adanya kekuatan
negara maka pelaksanaan syariat Tuhan hanya akan menjadi ilusi semata. Hal
tersebut bukan berarti Islam menerima konsep Caesaropapisme.
Menurut Natsir
konsep caesaropapisme bukan merupakan ajaran atau sistem politik
kenegaraan Islam.
Natsir juga mengungkapkan salah satu penyebab mengapa orang tidak sependapat
dengan negara Islam adalah terdapat gambaran yang keliru mengenai negara Islam.
Natsir mencoba
menjernihkan gambaran Negara Islam sebagaimana yang dipahami Soekarno maupun
kalangan yang anti persatuan agama dan negara. Gambaran keliru mengenai
negara Islam telah muncul semenjak lahirnya karya-karya kaum Orientalis
mengenai Islam.
Diduga melalui
karya-karya inilah menyebabkan menyebarkan gambaran keliru tentang negara Islam.
Lahirnya karya-karya ini pada mulanya didorong keinginan untuk mengkritik dan
menyerang Islam, ini dilakukan dalam rangka kekalahan Eropa kristen menghadapi
kekuatan militer kaum muslimin dalam perang Salib pada abad 11 sampai 13.
Kekalahan tersebut
menyebabkan jatuhnya Konstantinopel dan Wina yang merupakan kota penting bagi
kristen telah menimbulkan perasaan marah, malu dan kebencian terhadap kaum
muslimin.
Lalu para penguasa
kristen di Eropa bersumpah untuk mengusir umat Islam dari kota-kota tersebut.
Bentuk penyerangan mereka adalah dengan membuat buku yang berisikan gambaran
tidak benar mengenai Islam dan kaum Muslimin tentang Nabi Muhammad yang
digambarkan mempunyai penyakit ayan, gila perempuan, penjahat, pendusta, dan
lainnya. Oleh karena itu Islam yang dibawa Muhammad bukanlah ajaran yang benar.
Agama yang benar, hanya agama Kristen yang dibawa oleh Yesus Kristus.
Gagasan Demokrasi
Terpimpin telah membawa Soekarno ke puncak kekuasaan yang memang telah Ia
dambakan sejak lama. Sebagai
orang yang merasakan betapa panasnya
sistem Demokrasi Terpimpin, Natsir tentu mempunyai hak sepenuhnya untuk menilai sistem itu.
Sejak peristiwa
“patah arang” antara Soekarno dan Natsir pada awal tahun 1951, lontaran kritik
seperti itu wajar adanya, sekalipun berakibat buruk pada partai Masyumi yang
harus dibubarkan.
Penulis: Chatarina Bahira Ababyl (Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, Prodi
Sejarah Peradaban Islam)
Baca juga: smpswanasawit.sch.id Aura Wajah