Foto: instagram @depe_saja |
MEDIA IPNU - Apakah umat Islam harus mengikuti sunnah nabi? Sudah menjadi pengetahuan umum umat Islam bahwa af’al an-nabi (tindakan Nabi) bisa dijadikan sumber hukum (mashadir al-ahkam). Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang dijauhi oleh Nabi atau dengan kata lain, Nabi melarang suatu perkara berarti perkara tersebut haram.
Sunnah Nabi adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Rasulullah, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun
ketetapan. Pada dasarnya, memang benar bahwa tindakan (af’al) nabi
merupakan tuntunan, pedoman bagi umat Islam. Namun apabila diklasifikasi secara
mendalam ternyata tidak semua perbuatan Nabi itu bersifat sunnah dan wajib,
melainkan ada yang jawaz (mubah) bahkan ada yang haram bagi umat Islam.
Melalui tulisan ini akan
mempertimbangkan ulang terkait Apakah segala sesuatu yang dilakukan Nabi
berarti boleh dilakukan oleh umat Islam? dan juga Apakah perkara yang tidak
pernah dilakukan Nabi berarti tidak boleh dilakukan oleh umat Islam?
Menurut pandangan jumhur
ulama perbuatan Nabi dapat dipecah menjadi 6 macam. Pertama, perbuatan menurut
tabiat kemanusiaan (al-af’al al-jibliyah), yaitu perbutan Nabi sebagai
manusia pada umumnya seperti makan, minum, dll menurut jumhur ulama perbuatan
Nabi tersebut tidak wajib diikuti (mubah).
Kedua, perbuatan Nabi
yang khusus dilakukan Nabi, artinya perbuatan tersebut hanya boleh dilakukan
oleh Nabi saja dan tidak ditujukan untuk umat Islam. misalnya Nabi melakukan puasa
wishal, menikah dengan lebih dari 4 istri, dll perbuatan tersebut apabila
dilakukan oleh umat Islam justru haram atau tidak dianjurkan. Ketiga, perbuatan
yang wajib bagi Nabi, namun sunnah bagi umat Islam misalnya: Shalat Witir dalam
sholat malam, nahi munkar dalam setiap keadaan, dll.
Selanjutnya yang keempat,
perbuatan yang haram bagi Nabi, namun boleh dilakukan umat Islam seperti
menerima zakat, menikahi perempuan ahlul kitab, dll. Kelima, perbuatan Nabi
yang bersangkutan dengan tradisi dan kondisi tertentu sehingga tidak bisa
diterapkan pada tradisi dan kondisi masyarakat yang berbeda, seperti Nabi
memanjangkan jenggot, berpakaian ala arab, dll.
Sedangkan klasifikasi
perbuatan Nabi terakhir (keenam) yaitu, perbuatan tidak termasuk dalam keempat
kategori di atas, melainkan merupakan ajaran yang disyariatkan dan berlaku bagi
umat Islam, sehingga bisa diikuti oleh umat. Seperti perbuatan Nabi dalam
memperjelas keglobalan ayat al-Qur’an, mengkhususkan keumuman ayat-ayat
al-Qur’an, dll.
Selain itu, problematika
selanjutnya adalah Apakah suatu perkara hanya karena tidak terdapat di dalam
al-Qur’an secara eksplisit, lantas tidak boleh diamalkan? Atau karena perkara
tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi, lantas tidak boleh dilakukan oleh
umat Islam? jawabannya tentu tidak, hal ini didasarkan pada kaidah:
“Tidak melakukan sesuatu bukan berarti bahwa
sesuatu tersebut dilarang”
At-tark
(istilah dalam ilmu ushul fiqh) dalam kaidah di atas maksudnya adalah
ketika Nabi tidak melakukan suatu perbuatan, bukan berarti perbuatan tersebut
hukumnya haram (tahrim). Ketika perbuatan tidak dilakukan oleh Nabi, hal
tersebut mengandung beberapa kemungkinan. Misalnya Nabi lupa atau karena tidak
terlintas dalam pikiran Nabi, atau karena Nabi khawatir memberatkan umat Islam,
atau karena dalam tradisi pada saat itu belum ada, tidak terbiasa, serta
kemungkinan-kemugkinan yang lain, Sehingga perbuatan tersebut tidak dilakukan
oleh Nabi.
Dengan demikian, sesuatu
yang haram tidak bisa dipahami dari at-tark saja, melainkan harus
diambil dari dalil lain yang menunjukkan keharamannya, seperti adanya teks yang
secara jelas menunjukkan larangan (an-nahyu, tahrim),
Bahkan, di masa Nabi ada
sahabat yang melakukan amalan yang tidak contohkan oleh Nabi. Misalnya, dalam
hadist dari Abu-Hurairah r.a: “Rasulullah saw bertanya kepada Bilal r.a setelah
selesai sholat subuh: Wahai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau
harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara
terompahmu di dalam surga.
Bilal menjawab: bagiku
amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci (berwudhu) setiap waktu
siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat” (H.R Bukhori, Muslim dan Ahmad
bin Hanbal).
Selain itu, Nabi juga pernah membenarkan Bilal saat melakukan sholat dua raka’at (sholat ba’diyat al-wudhu’), padahal Nabi tidak pernah memerintahkan maupun mencontohkan sholat tersebut. Dengan demikian, suatu amaliah dari hasil ijtihad di masa Nabi saja diperbolehkan, apalagi setelah Nabi wafat tentu akan terbuka lebar pintu ijtihadnya.
Penulis : Alfaenawan (Anggota Departemen Kaderisasi PC
IPNU Kabupaten Kulon Progo, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga)
Baca juga: cakarif.my.id
- Pilih Pemimpin Baru, PAC IPNU IPPNU Bumiayu Brebes Sukses Gelar Konferancab
- Konbes IPNU di Pasuruan, Khofifah: Langkah Konkret Menuju Indonesia Emas
- Menparekraf Ajak IPNU Buka Lapangan Kerja Di Sektor Parekraf
- Diteriaki Wapres di Rakernas IPNU, Sandiaga Kenang Kartu NU Numero Uno
- Lakmud IPNU IPPNU Gapura Sumenep Mengawali Rentetan Event Kaderisasi
Apakah Umat Islam Harus Mengikuti Sunnah Nabi? Ini Apakah Umat Islam Harus Mengikuti Sunnah Nabi? Info Apakah Umat Islam Harus Mengikuti Sunnah Nabi? Tentang Apakah Umat Islam Harus Mengikuti Sunnah Nabi?