Saat Kiai di Situbondo dan Bondowoso Gelisah soal Penerimaan Asas Tunggal Pancasila | NU Online |
MEDIA IPNU - Saat Kiai di Situbondo dan Bondowoso Gelisah soal Penerimaan Asas Tunggal Pancasila. Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur telah mengisyaratkan penerimaan NU terhadap Asas Tunggal Pancasila yang diwajibkan oleh pemerintah. Dituangkan dalam ‘Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila Dengan Islam’ yang ditandatangani oleh para kiai.
Namun kenyataannya tidak
bisa sesimpel itu. Para kiai di kalangan ‘elite’ NU mungkin bisa memahami,
namun para kiai di tingkat akar rumput masih gamang dan gelisah.
Waktu itu tahun 1984,
setahun setelah munas, draf UU tentang kewajiban setiap Organisasi Keagamaan
(Ormas) dan Organisasi Sosial Politik (Orsospol) untuk berasas Pancasila sudah
hampir pasti disahkan menjadi UU. Tinggal menunggu waktu.
Bagi organisasi sekuler
tentu saja tidak masalah menerima Pancasila sebagai asas. Namun lain halnya
dengan organisasi berbasis keagamaan seperti NU. NU adalah organisasi
berdasarkan akidah dan syariat Islam. Asasnya Al-Qur'an dan As-Sunnah dan
segala perangkat untuk memahaminya seperti ijma dan qiyas.
Sementara perdebatan
bergulir di internal organisasi, tekanan semakin meningkat pada NU untuk segera
menentukan sikap. Munas NU 1983 bisa dikatakan sebagai ‘manuver awal’ NU yang
sedang berenang di air panas, sambil terus berembuk tentang sikap apa yang harus
diambil.
Dalam upaya menavigasi
air panas ini, KH Raden As’ad Syamsul Arifin berupaya mendinginkan. Kegelisahan
tak terkecuali juga dirasakan oleh kiai-kiai muda Bondowoso, kota yang berjarak
hanya 2 jam dari pusat pergulatan NU dan Pancasila di Asembagus Situbondo.
Ketua PCNU Bondowoso, KH
Husnan Toha di suatu malam sedang dikonfrontir oleh anggota-anggotanya.
Mempertanyakan soal hasil Munas 1983 dan kecenderungan NU untuk menerima
Pancasila sebagai asas tunggal, yang menurut mereka akan menjungkalkan NU dari
rel ideologisnya selama ini.
Ketua MWCNU Kecamatan
Grujugan, Ahmad Dhafir, mewakili keresahan kawan-kawannya “Golkar sudah asas
Pancasila, PDI juga mengadopsi asas Pancasila. Kalau NU dan PPP juga
ikut-ikutan mengadopsi Pancasila, maka apa bedanya kita dengan mereka yai?”
tanya Dhafir.
KH Husnan hanya
manggut-manggut ia memahami keresahan anggotanya. Kalau semuanya patang
gedabyah berasas Pancasila, maka keberadaan NU dan PPP sebagai mesin politik
umat muslim akan menjadi redundan. NU yang sejak awal berasaskan Islam akan
kehilangan jati diri sekaligus para pemilih-nya.
“Sebaiknya memang harus
kita tanyakan langsung pada Kiai As’ad. Saya rasa tidak ada yang bisa
menjelaskan perkara ini sebaik beliau,” sambung Kiai Husnan.
“Betul, apalagi sudah ada
kasak-kusuk bahwa asas tunggal Pancasila akan ditetapkan pada Muktamar tahun
depan,” timpal yang lain.
Selepas pertemuan
tersebut, Kiai Husnan lantas menelepon Ketua PCNU Situbondo, KH Syahrawi. Minta
di matur-kan ke Kiai As’ad bahwa kawan-kawan PCNU Bondowoso ingin menghadap.
Beberapa hari kemudian,
Kiai Syahrawi menelepon Kiai Husnan, “Kiai As’ad bisa menerima teman-teman PCNU
sehabis dhuhur di Kantor PCNU Situbondo,” katanya.
Ahmad Dhafir, saat
bercerita kepada penulis, mengaku tidak ingat tanggal pertemuan tersebut.
Namun, perbincangan yang terjadi di kantor PCNU depan terminal Situbondo
tersebut menurutnya adalah salah satu even krusial dalam perumusan hubungan NU
dan Pancasila.
Sehabis shalat dhuhur,
KHR As’ad Syamsul Arifin rawuh diantar supirnya Pak Azis dan putranya Fawaid
As’ad. Duduk dengan penuh wibawa menghadap ke utara. Sementara Fawaid kecil
bermain-main di sekitar kursi ayahnya.
Di seberang beliau duduk
berjejer Kiai Syahrawi, Kiai Husnan Toha, Kiai Ghozali Syukri dan Muammar Zain
anggota DPRD Situbondo dan petinggi partai PPP. Disertai beberapa tokoh NU
Bondowoso dan Situbondo.
“Demikian keresahan dari
teman-teman di bawah, Man Toan (paman). Ngapunten apakah sudah dipertimbangkan
betul untuk NU menerima asas tunggal Pancasila?” ucap Kiai Syahrawi dengan
hati-hati.
“Loh,” kata Kiai As’ad,
sedikit tersentak dari tempat duduknya, sehabis mendengar unek-unek dari para
kiai-kiai muda tersebut,
“Itu bukan pendapatnya
As’ad, cong!” Kiai yang juga dikenal sebagai komandan perang gerilya ulung
tersebut lantas bercerita tentang prosesnya mengontemplasi dan mencoba
menjembatani antara Islam dan Pancasila selama beberapa tahun terakhir.
“Aku itu keliling, cong.
Sowan ke ulama-ulama. Ke Sumberwringin, Kiai Siddiq Jember, ke Kiai Hasan
Genggong, Sidogiri, Lirboyo, Krapyak. Ke Kiai Idham Chalid, aku berembuk dengan
ulama-ulama se-Jawa dan Madura.”
Ruangan hening
mendengarkan rentetan dawuh dari salah satu kiai kharismatik tersebut. Namun,
yang mereka dengar selanjutnya malah semakin membuat kaget.
“Tidak cukup itu, Cong,”
Kiai As’ad melanjutkan, “Aku sadar ini istikharahnya tidak bisa sembarangan.
Ini menyangkut masa depan NU. Aku sadar bahwa kita juga butuh dawuh dari yang
punya Islam itu sendiri. Jadi aku tugaskan Sufyan untuk sowan ke Madinah,” jelas
Kiai As’ad.
Ada perubahan di muka
para kiai muda Bondowoso dan Situbondo mendengar nama tersebut. Sufyan yang
dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Kiai Sufyan Miftahul Arifin, pengasuh
Pondok Pesantren Sumber Bunga Seletreng, Situbondo. Kiai yang masyhur
diselimuti kisah-kisah karomah yang di luar nalar.
“Saya sendiri jangankan
pernah melihat, mendengar nama Kiai Sufyan baru sekali itu saja,” tutur Ahmad
Dhafir kepada penulis.
“Kalau bukan Sufyan cong,
beeh…” Kiai As’ad berseloroh “Tak kera olleh dhebu (Madura: tidak akan bisa
mendapatkan petuah). Aku menyuruh orang yang paradduh (kanggo, dianggap) ke
Kanjeng Nabi.”
“Kalau aku nyuruh
kiai-kiai lain, lha wong (maaf) kotorannya aja sebesar dengkul,” kelakar
beliau.
Yang dimaksud dengan
‘kotoran besar’ merujuk pada para kiai yang tidak zuhud dalam hal makan dan minum.
“Lebih besar dari ini!”
Sambil tertawa, Kiai As’ad mencabut satu buah pisang yang jadi suguhan lantas
memberikannya pada Kiai Syahrawi dan Husnan. Para kiai muda yang sejak tadi
tegang mendengarkan dawuh Kiai As'ad dan belum sempat menyentuh suguhan. “Ayo-ayo
dimakan,” kata Kiai As'ad mempersilakan.
Lepas dari pertemuan
tersebut, Dhafir masih bertanya-tanya soal sosok misterius bernama Sufyan, apa
yang dimaksud ‘sowan’ ke Madinah. Apakah cuma istikharah saja, atau
jangan-jangan bertemu Nabi betulan? Termasuk, dawuh apa yang diberikan oleh
Kanjeng Nabi sebagai feedback atas konsultasi Sufyan?
“Tapi bertahun-tahun
kemudian, saya renungkan, saya menjadi yakin bahwa Kiai Sufyan ke Madinah tidak
sekedar istikharah, tapi benar-benar sowan dan berjumpa dengan nabi. Muy
tamuyan (Madura: berbincang, ngobrol,Red),” tutur Dhafir.
Dari kisah tersebut, kata
Dhafir, dirinya dan para pengurus NU di zaman itu menarik sebuah hikmah tentang
bagaimana tingginya kualitas ijtihad para kiai. Sehingga NU dan Pancasila bisa
terus harmonis sampai sekarang.
“Akhirnya disepakati
bahwa NU 'menerima' Asas Tunggal Pancasila. Bukan berarti NU ber-asas tunggal
Pancasila. Asasnya tetap Islam. Tapi ditegaskan bahwa Pancasila tidak
bertentangan dengan Islam,” tuturnya.
Lebih-lebih peran Kiai
As’ad yang Dhafir sebut sebagai penyelamat. “Pilihan terbaik, karena kalau NU
tidak mau menerima asas tunggal Pancasila, maka NU bisa dibubarkan,”
pungkasnya.
Penulis : Taufiqur
Rahman, jurnalis
Sumber: NU Online
Baca juga: Dewadigi Dewadigi.id
- PD PRT IPNU IPPNU Terbaru Hasil Kongres di Jakarta 2022
- IPNU IPPNU Unesa Studi Banding ke Unisma Bangun Relasi Organisasi
- IPNU IPPNU UNNES Adakan Pelatihan Desain Grafis dan Jurnalistik
- Ketua IPNU Kabupaten Cirebon Sebut Konfercab Bukan Hanya Pergantian Pimpinan
- PP IPNU IPPNU Bentuk Tim Peneliti Muda untuk Optimalkan Kaderisasi
- Syahri Santoso dan Miftachul Hidayati Nahkoda Baru PC IPNU IPPNU Kota Batu
Saat Kiai di Situbondo dan Bondowoso Gelisah soal Penerimaan Asas Tunggal Pancasila. Ini Saat Kiai di Situbondo dan Bondowoso Gelisah soal Penerimaan Asas Tunggal Pancasila. Info Saat Kiai di Situbondo dan Bondowoso Gelisah soal Penerimaan Asas Tunggal Pancasila. Jika Saat Kiai di Situbondo dan Bondowoso Gelisah. Maka Saat Kiai di Situbondo dan Bondowoso. Jadi Penerimaan Asas Tunggal Pancasila. Ini Saat Kiai di Situbondo dan Bondowoso. Penerimaan Asas Tunggal Pancasila.