Ilustrasi: Khofifa Khurin Iin |
MEDIA IPNU - Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al Qur’an dan Sunnah. Ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi generasinya sudah ada sejak zaman Rasulluallah dan Sahabat.
Masalah utama yang
menjadi bagian ushul fiqih seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah
ada pada zaman Rasulluallah dan sahabat. Pada masa Rasulluallah, ada suatu
riwayat yang berbunyi :
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ،
أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ،
قَالَ لَهُ :"كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟"، قَالَ: أَقْضِي
بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ "قَالَ
: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟"قَالَ:
أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ : "الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ
رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Artinya :
Dari Muadz ibn
Jabal bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman,
Nabi bertanya:
“Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum?
Muadz ibn Jabal
menjawab: “Saya berhukum dengan kitab Allah”.
Nabi berkata:
“Jika tidak terdapat dalam kitab Allah?”
Muadz ibn Jabal
menjawab: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”.
Nabi berkata:
“Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ?
Muadz ibn Jabal
menjawab:: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”.
Maka Rasul Saw
memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat
dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah”.
Dengan demikian
maka tertib urutan hukum islam adalah Al-Qur’an, As-sunah, ijma’ dan qiyas. Hal
ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal tersebut.
Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum Islam.
Karenanya dalam
perujukan hukum-hukum syari’at, Al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila di
Al-Qur’an tidak ditemui maka beralih kepada As-sunah karena As-Sunah adalah
penjelas bagi kandungan Al-Qur’an.
Apabila di dalam
sunnah atau hadits tidak ditemukan maka beralih kepada ijma’. Ini karena
sandaran ijma’ adalah merujuk tafsir Al-Qur’an dan riwayat hadis. Bila dalam
ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas. Sumber hukum islam
dapat diartikan sebagai aturan yang bersifat mengikat, memberi kekuatan. Karena
sebagai hukum, maka jika melanggar atau menyimpang dari syariat Allah Ta'ala
dan Rasul-Nya akan menimbulkan sanksi secara agama.
Apabila kita
melihat sejarah perkembangan ilmu ushul fiqih pada masa Rasulluallah S.A.W
wafat, maka kita bisa mengetahui banyak tentang proses dan hasil yang dicapai
umat islam dalam menetapkan hukum. Hampir semua permasalahan hukum dapat
diatasi dan terselesaikan dengan baik.
Ijtihad yang
dilakukan oleh para ulama’ dari golongan sahabat, tabi’in tabi’it tabi’in
membuka mata dunia bahwa agama islam begitu universal dan komperehensif. Mereka
melakukan ijtihad mengikuti atau mencontoh dari penetapan hukum yang dilakukan
oleh Rasulluallah SAW baik berupa isyarat ataupun qiyas dengan tetap merujuk
pada sumber hukum syar’i yakni Al-Qur’an dan AS-Sunnah.
Namun kenyataannya
yang terjadi saat ini adalah banyak diantara umat islam yang terperangkap pada
pemahaman taqlid, bahwa kajian hukum dan ijtihad sudah tidak lagi diperlukan,
karena dianggap sudah cukup dengan kajian-kajian yang sudah ada dilakukan oleh
para ulama’ terdahulu didalam kitab-kitab klasiknya.
Seolah-olah umat
Islam sekarang hanya tinggal menggunakan ajaran atau sistemasi yang sudah ada
tanpa harus ada proses pengkajian yang mendalam,ataupun ada juga yang belajar
tanpa mengetahui ilmu alat untuk memahami ilmu tertentu yang mana hanya
memaknai atau memahami secara leterlek dan memungkinkan ada juga yang
beranggapan bahwa umat islam yang benar yang hanya mengikuti satu paket ajaran
atau sistemasi dari ulama’ tertentu, karena jika memilih seluruh paket dianggap
tidak konsisten.
Prosees kehidupan
dan kebudayaan manusia yang semakin dinamis ini, tentunya memunculkan
persoalan-persoalan baru yang tidak ada pada masa lalu, ataupun tidak tersurat
dari al-qur’an maupun as-sunnah.
Dari sinilah kita
perlu untuk memahami dan mengetahui tentang ilmu-ilmu alat seperti ushul fiqih.
Seperti pada kitab ar-Risalah karangan Imam Syafi’i yang mana pada kitab ini
salah satunya membahas tentang cara penggalian hukum dan kaidah-kaidah ushul
fiqih sebagai rujukan penganut madhab Syafi’iyah. Kitab ini menjadi pionir bagi
seluru kitab ushul fiqih yang lahir sesudahnya tanpa membedakan apakah
kitab-kitab ushul fiqih yang lahir sesudah ar-Risalah sifatnya mendukung atau
menentang.
Semua mazhab bisa
dikatakan dalam hal ushul fiqih menginduk ke ushul fiqihnya Asy-Syafi’i ini
meskipun sedikit berbeda dalam hal perincian. Ilmu ushul fikih
Asy-Syafi’i tersebar dan terserak-serak dalam sejumlah kitab seperti kitab
“Ibtholu Al-Istihsan”, “Jima’ Al-‘Ilmi”, bahkan terkandung juga dalam kitab “Al-Umm”
di tengah-tengah pembahasan cabang fikih, terutama saat Asy-Syafi’i melakukan
“roddul mukholifin” (bantahan terhadap pendapat ulama yang berbeda).
Hanya saja, karya
utama Asy-Syafi’i dalam ushul fikih adalah kitab “Ar-Risalah” ini.
Kitab ini memang benar-benar fenomenal. Isinya sangat padat. Bahasanya
menunjukkan bahwa penulisanya adalah orang yang sangat fasih dan sangat
menguasai Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan atsar. Caranya dalam
menganalisis sesuatu dan mengaitkannya dengan kondisi sosiologis masyarakat menunjukkan
penulisnya adalah orang yang sangat cerdas, bahkan jenius
Imam Syafi’i
merupakan ulama’ yang hidup dimasa pemerintahan tiga orang khalifah dari
dinasti Abbasyiyah yakni Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al-Amin, dan Al-Ma’mun. pada
masa Abbasyiyah ini banyak kemajuan dari berbagai bidang yang terbilang sangat
pesat , salah satunya di bidang ilmu pengetahuan.
Dengan banyaknya
penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian
yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai
inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Diantarannya, untuk bidang
keilmuan sudah berkembang.
Di Bagdad, dibuka
jasa penerjemahan. Bagi penerjemah buku-buku bahasa asing, akan dibayar dengan
emas seberat buku yang diterjemahkan. Selain itu, di Baitul Hikmah, terdapat
400 ribu judul buku. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling
berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam.
Para ahli sejarah
tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah
dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Hampir bisa dikatakan
pada pemerintahan dinasti Abbasiyah ini kemajuan dalam bidang agama sangat
fantastik.
Dalam bidang hukum
atau fikih misalnya telah lahir empat corak mazhab diantaranya mazhab Hanafi,
oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H), madzhab al-Syafi’i oleh imam Muhammad Idris
al-Syafi’i 204 H) dan madzhab Hanbal (w. 241 H). Para imam madhab juga mempunyai
karya tulisan sebagai rujukan bagi para pengikut madhabnya, salah satunya
ar-Risalah karya Imam Syafi’i.
Logo Hari Santri Nasional 2022 |
Imam syafi’i
mempunyai banyak karya, ada dua karya yang fenomenal yakni kitab Al-Umm dan
Ar-Risalah, beliau mempunyai nama lengkap Abu Abdillah Muhammad Idris ibn Abbas
ibn Syafi’i ibn Said ibn Ubaid bin Yazid ibn Hasyim ibn Abdi Al-Muthalib ibn
Abd Al-Manaf ibn Qushay al-Quraisyiy. Beliau dilahirkan di Ghazza sebelah
selatan dari Palestina pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M). Menurut satu
riwayat, pada tahun itu juga wafat Abu Hanifah.
Imam Syafi’i
meninggal di Mesir pada tahun 204 H (819 M). Kampung halaman beliau bukan
Ghazza Plaestina, akan tetapi bertempat di Mekkah (Hijaz). Dahulunya orang tua
beliau datang ke Ghazza untuk suatu keperluan, dan tidak lama kemudian beliau
lahir. Beliau juga mempunyai dua prinsip yang dikenal sebagai qoul qadim dan
qaul jadid. Beliau belajar kepada ulama-ulama besar yang ada pada zamannya.
Adapun yang
melatarbelakangi Imam Syafi’i untuk menulis kitab ini dikarenakan beliau
menerima permintaan Gubernur Asia Tengah, ulama yang berguru kepada Imam
Syafi’i sekaligus bersahabat dengan beliau yakni Abdurrahman bin Mahdi.
Imam Abdurrahman
inilah yang mengusulkan kepada Imam Syafi’i untuk menuliskan hal yang sangat
penting memuat ilmu alat untuk memahami ilmu-ilmu lain yang mana ini menjadi
sejarah besar dalam kajian qur’an dan hadis, tentang bagaimana cara memahami
qur’an dan hadis serta mengambil kesimpulan hukum.
Maka Imam Syafi’i
menulis surat (risalah) satu kitab yang monumental sampai sekarang ini yang
bernama ar-Risalah. Kitab ini sudah diterjemahkan sejak tahun 80 an ke
dalam bahasa indonesia oleh ulama sekaligus sastrawan dari madura yakni Ahmadi
Toha. kategorisasi ar-Risalah sebagai kitab ushul fiqih adalah kategorisasi
ulama pasca Asy-Syafi`i dan Asy-Syafi`i sendiri tidak menyebut kitabnya sebagai
kitab ushul fiqh maka dapat dimaklumi jika tidak akan ditemukan definisi ushul
fiqh dalam kitab ini.
Oleh sebab itu,
jika kemudian lahir ilmu ushul fiqh dan ar-Risalah dianggap sebagai kitab ushul
fiqh tentu karena materi-materi yang dimuat dalam ar-Risalah adalah
materi-materi yang pada abad ketiga dikenal sebagai materi ushul fiqh. Walaupun
dengan cara yang sama, kitab ar-Risalah juga bisa dianggap sebagai kita Ushul Hadits-karena
materi-materinya yang serupa dengan apa yang kemudian dikenal sebagai ilmu
hadits.
Dari alenia-alenia
pembuka ar-Risalah, rasanya memang asy-Syafi`i tidak tengah menulis ushul fiqh,
melainkan tengah menghadapi dua kelompok yang mirip dengan dua kelompok yang
harus dihadapi Nabi saat pertama kali beliau menyampaikan risalah Islam: ahl
al-Kitab dan ahl al-Kufr.
Kelompok pertama
mengingkari kitab Allah; sedangkan kelompok kedua “menganggap baik dengan
seenaknya” (istahsana) penyembahan berhala, kalau dianggap baik disembah kalau
sudah bosan dan dianggap tidak-baik lalu ditinggalkan. Asy-Syafi`i tampaknya
juga menghadapi kelompok-kelompok yang semisal: mereka yang menolak as-Sunnah,
dan mereka yang mengandalkan istihsan.
Oleh sebab itu,
ketika Asy-Syafi`i berbicara tentang materi-materi yang kemudian dlikenal
sebagai ushul fiqh, sebenarnya yang dilakukan adalah untuk memperkuat posisi
as-Sunnah sebagai sumber hukum setelah al-Qur'an. Selain materi-materi yang
langsung berbicara tentang as-Sunnah, ketika berbicara tentang hal-hal lain
seperti lafazh-lafazh ‘am di dalam al-Qur'an, maka Asy-Syafi`i melakukannya
dalam kerangka ingin menunjukkan peran as-Sunnah dalam menakhshish; ketika
berbicara tentang an-naskh, ia juga berbicara tentang peran Sunnah dalam
menunjukkan mana yang dimansukh dan mana yang tidak.
Demikian pula
ketika materi-materi fiqhiyyah (yang tidak termasuk dalam materi ushul fiqh)
dibahas seperti waris, haji, zakat, iddah dan lainnya, posisi as-Sunnah-lah
yang tengah ia diskusikan.
Terkait dengan
penolakan Asy-Syafi`i terhadap istihsan menurut Noel J. Coulson, tidak terlepas
dari maksud dan tujuan Asy-Syafi`i untuk meminimalisir perpecahan di kalangan
umat sekaligus melakukan unifikasi dalam bidang hukum meski hal itu sepenuhnya
tidak berhasil dilakukan oleh Asy-Syafi`i.
Coulson
menyatakan: “Ash-Shafi`i‟s legal theory had established a compromise between
the dictates of the divine will and the use of human reason in law. But his
hopes that such mediation would resolve existing conflicts and introduce
uniformity into jurisprudence were frustrated.”
Jadi, hampir
sernua halaman ar-Risalah berisi tentang pembahasan yang dilakukan dalam
kerangka penjelasan tentang as-Sunnah. Bab-bab lain yang pada masa kemudian
disebut sebagai materi ushul fiqh, seperti al-Ijma', al-Qiyas, Istihsan, dan
Ijtihad, dibahas secara tersebar dan dibahas khusus secara singkat pada akhir
kitab ar-Risalah. Itu dengan mempertimbangkan segala aspek untuk menulis kitab
ini.
Diantaranya
semakin jauhnya jarak dengan kehidupan zaman Rasulluallah. Karena semakin jauh
jarak dengan zaman Rasul maka semakin berbeda pula situasi yang ada, tantangan
ataupun permasalahan zaman yang semakin meningkat. Yang mana harus lebih
hati-hati dalam memutuskan hukum.
Maka dari sini
perlunya ilmu alat dan cara yang baku untuk istinbath hukum dan ubi societas
ibi ius berarti dimana ada masyarakat disana ada hukum, ini yang dimaksud
dengan fiqih karena fiqih terlahir dari dinamika kehidupan manusia.
Dalam kaidah
ushuliyah : والأحوال والأمكنة الأزمنة بتغير الأحكام تغير , artinya : Dinamika
perubahan hukum di tengah masyarakat tidak terlepas dari dinamika perubaan
waktu, tempat dan kondisi sosial masyarakat tersebut. Realitas masyarakat
berkembang terus menerus mulai dari masyarakat purbakala yang primitif sampai
dengan masyarakat yang maju dan moderen saat ini, masuknya berbagai kata dan
gaya bahasa asing ke dalam bahasa arab yang memungkinkan kesalahpahaman,
perselisihan yang keras antara madhab hadis di madinah dan madhab ra’yu di
iraq.
Dua madhab ini sering
berselisih dalam pandangan sera banyaknya peristiwa dan kejadian baru seiring
tersebarnya islam dan interaksi dengan bangsa-bangsa lain yang memiliki adat
dan tradisi yang berbeda.
Pada tahun 195 H
Imam Syafi’i kembali ke Baghdad setelah beliau menguasai ilmu bidang fiqih,
oleh karena itu banyak ulama dan orang-orang pandai juga ahli fiqih datang
menemuinya, dimasa itulah beliau menyusun kitab ar-Risalah yang dimuatkan
didalmnya beberapa prinsip tentang ushul fiqih, karena kitab inilah yang
membuat beliau dijuluki sebagai bapak ushul fiqih.
Ilustrasi: Imam Syafi'i | www.bangkitmedia.com |
Tantangan ilmiah
yang dirasakan oleh Asy-Syafi‟i adalah inkonsistensi dari para pemikir hukum
sebelumnya. Pemanfaatan sumbersumber hukum warisan generasi sebelumnya yaitu
hadis, pendapat shahabat, tabi‟in, praktik-praktik local dan pendapat pribadi
kontemporer saat itu diambil dan ditolak dengan cara yang menurutnya
sembarangan.
Dalam kasus ada
pilihan sumber-sumber atau kontradiksi antar sumber-sumber, mereka ambil yang
mereka mau dan mereka tolak yang mereka mau tanpa ada prosedur pemilihan baku
yang dipegangi secara konsisten. Kitab ar-Risalah masih berisi materi-materi
non-Ushul Fiqh dan pembahasannya tentang ushul fiqh terpusat pada Sunnah, Ijma’
Qiyas yang dibahas dalam kerangka menolak istihsan.
Pola pemikiran dan
faktor-faktor yang mempengaruhi metode istinbat imam syafi’i sebagaimana latar
belakang pendidikan dan pemikirannya, termasuk salah seorang jajaran Imam
penganut Ahlu as-Sunnah wa al-Jama‟ah, yang dalam cabang fiqhiyyahnya berpihak
pada dua kelompok, yaitu ahlu al-Hadis dan ahlu ar-Ra‟yi (sintesa pemikiran
tengah).
Lahirnya kitab
ar-Risalah adalah fase awal perkembangan ilmu ushul fiqih sebagai suatu
disiplin ilmu, yang menjadikan kitab ini sebagai rujukan utama bagi kalangan
ahli ushul fiqih pada masa sesudahnya dan pada masa sekarang didalam menyusun
karya-karya mereka dan juga sangat cocok untuk menjadi rujukan bacaan bagi
mahasiswa, akdemis, pemerhati hukum islam dan siapapun umat muslim penuntut
ilmu.
Bahkan Gus
Baha’uddin Nursalim (Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama) menjelaskan
bahwa banyak urgensi mempelajari kitab ar-Risalah, kitab ini membentuk sudut
pandang jernih terhadap sebuah masalah fiqih. Membuka kemungkinan rekayasa
fiqih untuk kemanfaatan lebih besar.
Seperti pada
faktanya kebolehan polisi perempuan. Seperti pemerkosaan yang butuh BAP, pelaku
kejahatan dari perempuan dan pendampingan tes urin perempuan. Jawaban atas
realita lagi-lagi berada di kitab ar-Risalah disanalah Imam Syafi’i berargumen.
Maka dari itu atas keberkahan kitab yang luar biasa ini fiqih kita tidak
menjadi fiqih secara harfiah saja melainkan fiqih yang bisa menjawab tantangan
zaman.
Gus Baha’
menjelaskan kitab Ar-Risalah dikarang atas pemikiran ushul fiqih Imam Syafi’i.
Pemikiran ini terbentuk saat ia belajar ke Imam Hasan Asyyaibani. Imam hasan
mempunyai kebiasaan menghitung uang di tempat umum, ruang tamu.
“Kenapa ngumpulin
uang banyak begini?” tanya Imam Syafi’i.
“Berarti saya,
orang alim tidak boleh punya uang dan harta?” Imam Hasan malah bertanya.
“Iya, orang allim
tidak boleh punya uang,” jawab Imam Syafi’i.
“Kalau begitu uang
ini saya kasih ke orang fasiq biar uangnya dibuat maksiat kepada Allah.”
"Berarti
boleh orag alim punya harta banyak?" Imam Hasan tanya balik.
"Boleh-boleh," kata
Imam Syafi'i.
Gus Baha meneruskan,
awalnya Imam Syafi'i datang ke Imam Hasan Assyaibani.
"Ini
asal-usul mengarang ar-Risalah. Sejak bertemu Imam Hasan pemikiran Imam Syafi'i
berubah menjadi orang yang berpikir ala ushul fiqih. Lama-lama beliau mengarang
kitab ar-Risalah," imbuh Gus Baha.
Oleh karenanya,
kata Gus Baha, ar-Risalah adalah nama yang bukan sembarangan, karena
mencerminkan keilmuan yang mendalam.
Di dalam kitab
tersebut, Imam Syafi'i benar-benar menganalisis cara menggali hukum dari
Al-Qur'an dan hadis.
"Ar-Risalah
memberikan sudut pandang yang kuat. Barakah kitab Ar-Risalah, yang miskin
senang karena tidak ada hisab.Yang kaya juga senang karena memberikan manfaat
kepada orang banyak," kata Gus Baha.
Gus Baha lalu
bercerita bahwa sebenarnya dirinya tidak mau terkenal seperti saat ini. Karena
terkenal baginya sangat merepotkan diri. Namun, doa menolak terkenal juga tidak
berani. Dalam kacamata kitab ar-Risalah, terkenal memiliki sisi manfaatnya
juga. Masyarakat bisa mengikuti kajian yang membahas hukum Allah tanpa bayar
mahal bahkan ada yang gratis via media sosial.
"Saya aslinya
terkenal juga tidak senang. Saya tidak pernah mengurusi media. Pasrah ke Allah.
Karena kalau semua yang terkenal itu mata duitan juga repot umat. Namun, kalau
saya terkenal maka saya jadi repot juga," ujarnya.
Kitab ar-Risalah
dikaji di banyak pesantren Nahdlatul Ulama. Sebagai bekal seorang santri dalam
menggali hukum ketika kembali ke masyarakat.
Logika ar-Risalah
juga dipakai Imam Ghazali. Di zaman Imam Ghazali mau jadi ahli fikih tapi tidak
boleh. Jadi dokter saja. Alasan Imam Ghazali banyak negara Islam yang
kekurangan dokter, akhirnya berobat ke non Muslim. Berkahnya hidup itu dikawal
orang shaleh. Menjadikan azab tidak diturunkan.
Relevansi
kehadiran kitab tersebut sebagai dasar pengembangan kajian ushul fiqih, sangat
menunjang perkembangan hukum islam melalui metodologi yang actual hingga
metodologi-metodologi yang masih samar yang ditawarkan oleh asy-Syafi’i dalam
ar-Risalah perlu dikembangkan secara sistematis dan metodologis.
Kitab kitab
tersebut menjadi salah satu inspirasi hukum yang banyak dirujuk, dengan
memepelajari salah satu ilmu di dalam kitab ar-Risalah yakni ushul fiqih, dapat
mengetahui dasar-dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat
fiqihnya. bisa mengetahui sejauh mana kebenaran pendapat-pendapat fiqih yang
berkembang di dunia islam masa sekarang.
Menghindari
kesalahpahaman ayat ataupun hadis dan memahami secara sempurnadan bagaimana
cara mengembangkannya, dengan mempelajari ushul fiqih seseorang akan mampu
memakai dan memproduksi fiqih, ushul fiqih juga merupakan alat untuk melakukan
perbandingan madhab fiqih, dan tak kalah penting ilmu ushul fiqih dapat
menjawab persoalan fiqih yang mengikuti kemajuan perkembangan dan peradaban
umat manusia serta tantangan yang semakin bertambah akibat peradaban dan
perkembangan yang ada dengan melihat dan memahami kaidah ushul fiqih.
Penulis : Khofifa Khurin Iin
- NIM : 210101110069
- Kelas : Pendidikan Agama Islam /B /Semester 3 (UIN Maliki Malang)
Referensi :
- Kitab Ar-Risalah, Karya Imam Syafi’i
- Alwani, T. J. (1994). Souce Methodology in Islamic Jurisprudence . Virginia: IIIT.
- Asy-Syurbasyi, A. (2008). Sejarah dan Biografi 4 Imam Madhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali. Jakarta : Amzah.
- Beik, M. K. (1967). Ushul Fiqih . Beirut: Dar al-Fikri.
- Coulson, N. J. (1990). A History Of Islamic Law. Edinburgh : Edinburgh University Press.
- Zahrah, M. A. (2005). Imam Syafi'i Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Aqidah, Politik, dan Fiqih. Jakarta : Lentera.
Ar-Risalah
Menjawab Tantangan Zaman. Ini Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Info
Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Jika Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman.
Maka Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Jadi Ar-Risalah Menjawab Tantangan
Zaman. Misalnya Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Namun, Ar-Risalah Menjawab
Tantangan Zaman. Jika Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Maka Ar-Risalah
Menjawab Tantangan Zaman. Namun Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Ini
Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Jika Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman.
Maka Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Itulah Ar-Risalah Menjawab Tantangan
Zaman. Namun, Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Jadi Ar-Risalah
Menjawab Tantangan Zaman. Misalnya, Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman.
Kemudian,
Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Lalu, Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman.
Lantas Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Jika Ar-Risalah Menjawab Tantangan
Zaman. Maka Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Namun, Ar-Risalah Menjawab
Tantangan Zaman.Tapi, Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Ini Ar-Risalah
Menjawab Tantangan Zaman. Jika Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Maka
Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Namun, Ar-Risalah Menjawab Tantangan
Zaman. Jadi, Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman.
Andai Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Itulah Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Jika Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Maka. Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Namun, Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Jika Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Maka Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Namun, Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Tapi, Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Jadi Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Ini Ar-Risalah Menjawab Tantangan Zaman. Itulah Ar-Risalah Menjawab. Jadi Ar-Risalah Menjawab. Ar-Risalah Menjawab. Andai Ar-Risalah Menjawab. Jika Ar-Risalah Menjawab. Maka Ar-Risalah Menjawab. Jsdi, Ar-Risalah Menjawab. Namun Ar-Risalah Menjawab. Ar-Risalah Menjawab. Ini Ar-Risalah Menjawab. Tentang Ar-Risalah Menjawab. So, Ar-Risalah Menjawab.