Whasfi Velasufah (Calon
Ketua Umum PP IPPNU) | Instagram @velsuf |
MEDIA IPNU -
Mengantisipasi Peran Pelajar Putri dalam Pusaran Radikalisme. Dari tahun ke
tahun, keterlibatan perempuan dalam pusaran terorisme terus meningkat.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2018
tercatat sebanyak 13 orang perempuan terlibat dalam aksi teror. Sedangkan pada
2019 jumlah tersebut meningkat sebanyak 15 orang perempuan.
Bila kita mengutip
pernyataannya Boy Rafli Amar selaku ketua BNPT yang menjelaskan bahwa terdapat
beberapa alasan mengapa perempuan terlibat dalam aksi teror dan faktor utamanya
adalah budaya patriarki. Di mana Budaya Patriarki menempatkan perempuan dalam
kungkungan ideologi patriarki yang cenderung loyal dan patuh, sehingga mereka
lebih mudah dihasut dan dipengaruhi serta dapat dengan mudah dibujuk untuk
melakukan dalam aksi teror.
Selain itu faktor lainnya
adalah masih adanya ajaran agama yang konservatif dan fundamental, di mana
perempuan dibentuk menjadi individu yang tunduk. Hal yang tidak kalah menarik
adalah sifat ibuisme dan ke lemah lembutan perempuan dijadikan siasat untuk
mengelabui aparat penegak hukum, sehingga perempuan sering menjadi supporting
system seperti kurir dan agen rahasia antar sesama pelaku radikal untuk
melancarkan aksi teror.
Apalagi dalam melihat
fenomena hari ini masifnya peran perempuan dalam pusaran radikalisme memang
tidak dapat disangkal begitu saja. Baru-baru ini, peran perempuan dalam aksi
radikalisme dan teror cenderung lebih aktif. Mereka tidak lagi hanya menjadi
sosok di balik panggung atau sekadar konco wingking saja, tetapi mereka juga
menjadi pelaku bom bunuh diri. Bahkan perempuan berani menyerang aparat
kepolisian.
Mengantisipasi peran
pelajar putri dalam pusaran radikalisme. Tentu kita masih ingat dengan
aksi Zakiah Aini seorang mahasiswi yang berusia 26 tahun kala itu menyerang
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) pada akhir Maret 2021.
Kasus lainnya adalah
adanya bom panci di akhir 2016 dengan pelaku bernama Dian Yulia Novi, lalu Ika
Puspita Sari di Purworejo yang akan melakukan aksinya di Jawa, dan Umi Delima,
istri Santoso yang termasuk dalam jaringan teroris MIT. Kasus-kasus tersebut
jelas mengindikasikan bahwa perempuan tidak lagi hanya berperan sebagai
pendukung saja dalam aksi radikalisme dan terorisme, melainkan perempuan
mengalami peningkatan sebagai pejuang atau fighter.
Musdah Mulia, aktivis
perempuan dan guru besar agama, dalam tulisannya berjudul “Perempuan dalam
Gerakan Terorisme di Indonesia” mengungkapkan bahwa dalam aksi teror, tugas dan
peran perempuan sangat penting, yakni sebagai pendidik (educator), agen
perubahan (agen of change), pendakwah (campaigner), pengumpul dana
(fundraiser), perekrut (recruiter), penyedia logistik (logistic arranger)
kurir, penghubung rahasia (mata-mata), pengikut dan pendamping setia suami
sebagai pelaku, hingga pengantin atau pelaku bom bunuh diri (suicide bombers).
Perempuan menjadi subjek
yang sangat dirugikan, baik menjadi korban maupun pelaku. Sebagai korban
mislanya, setelah suami tertangkap atau meninggal karena bom bunuh diri, istri
menjadi pihak yang memikul tanggung jawab atas keberlangsungan hidup keluarga,
baik secara sosial maupun ekonomi.
Secara sosial, perempuan
yang menjadi istri pelaku teror akan mendapatkan stigma yang sangat buruk dan
dijauhi oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Begitu pula ia harus
mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya. Betapa malang hidup perempuan
jika demikian.
Oleh karena itu, upaya untuk menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan perempuan terhadap bahayanya paham radikalisme perlu dilakukan.
Pentingnya Kesadaran Perempuan
Mengantisipasi peran
pelajar putri dalam pusaran radikalisme. Sebagai Warga Negara Indonesia, untuk
menumbuhkan dan merawat kesadaran dalam bernegara. Perempuan memiliki peranan
yang sangat signifikan pada kesadaran ini.
Memang, seperti dua mata
uang koin, di satu sisi, perempuan memiliki potensi menjadi bagian dari
kelompok radikal, di sisi yang lain, perempuan juga memiliki peran penting
dalam mencegah radikalisme. Bentuk kesadaran ini dapat dipupuk melalui adanya
sebuah kesadaran kemanusiaan.
Perempuan juga merupakan
manusia yang utuh dalam kehidupan yang diciptakan oleh Tuhan, sama seperti
halnya laki-laki, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Hal yang paling penting
dalam hal ini adalah kesadaran dan kemampuan perempuan untuk mengenali ajaran
keagamaan yang moderat, dan menilai afiliasi organisasi keagamaan yang
mengajarkan dan menuntun pada ajaran moderat.
Beberapa organisasi di
sekolah-sekolah atau kampus-kampus masih didapati paham-paham keagamaan yang
sangat fundamental dan cenderung mengarah pada paham radikal. Sebagai contoh,
Rohis, salah satu organisasi intra sekolah yang memiliki pengkaderan di bidang
keagamaan siswa ini dinilai memiliki potensi besar yang menjadi pintu masuk
paham-paham radikal.
Selain itu, jenjang
pengkaderan yang sistemik membuat antar alumninya memiliki ikatan kuat. Siswa
yang telah mendapatkan doktrin dari Rohis, oleh guru atau mentor yang berhaluan
Islam konservatif ini dapat membawa pengaruh pada pemahaman siswa pada ajaran
agama yang cenderung radikal.
Perlunya Penguatan Pemahaman Moderasi Beragama
Mengantisipasi peran
pelajar putri dalam pusaran radikalisme. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa
karakter penting dari Islam Indonesia adalah moderatismenya. Islam Indonesia
sendiri selama ini dikenal sebagai Islam yang mampu hidup beriringan dengan ide-ide
pluralisme dan toleransi.
Islam Indonesia diyakini
sebagai Islam toleran sejak mula dia datang ke Indonesia. Ide-ide Islam yang
sangat menghargai keragaman masuk ke Indonesia, sebuah wilayah yang telah
memiliki sejarah panjang dalam hal toleransi. Posisi moderat ini terutama
direpresentasikan oleh Nahdlatul Ulama (NU).
NU diakui sebagai
organisasi keislaman paling penting dalam mengembangkan Islam moderat di
Indonesia. Moderatismenya secara langsung lahir dari formula keislaman yang
dikembangkan dari sumber normative Islam. Ajaran yang dikembangkan NU ini
akhirnya menjadi panduan bagi pengikutnya dalam mengembangkan pikiran-pikiran
dan tindakan-tindakan keagamaan yang moderat. Hal ini karena ajaran teologis NU
bercorak non-kekerasan.
Di samping itu, NU juga
menyepakati ide Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), salah satu isu
penting yang selalu ditolak oleh kalangan Muslim garis keras di indonesia. Begi
organisasi ini, NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika
sesungguhnya adalah manifestasi prinsip-prinsip dasar Islam moderat, yaitu
Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta).
Dalam konteks nilai-nilai
modern, NU tidak menolak demokrasi dan hak asasi manusia, dua nilai utama
modernitas. Demokrasi dipandang bukan saja sebagai nilai universal yang hanya
bisa tumbuh di dunia Barat, tapi juga sesuai dengan ajaran Islam. NU meyakini
bahwa ajaran islam seharusnya sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM
modern. Islam sendiri bersifat demokratis, oleh karenanya tidak ada alasan
menolak demokrasi.
NU yang lahir pada 31
Januari 1926 di Surabaya ini sejak awal tidak hanya didorong oleh motif agama.
Setidaknya ada tiga motif penting dibalik lahirnya NU: agama, nasionalisme, dan
mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja).
Secara literal, Aswaja
adalah pengikut Sunnah Nabi dan jama’ah, yang merupakan ajaran kesalehan dan
kebenaran yang dicontohkan oleh Nabi, para Sahabat, dan generasi awal (al-salaf
al-shalih) yang dianggap sebagai garansi kebenaran Islam.
Sebagaimana organisasi
yang pendiriannya didorong oleh para kiai, NU banyak dihuni oleh kelompok ahli
agama yang mendapatkan didikan pesantren. Mereka memiliki posisi penting di
dalam komunitasnya dan menempati peran kunci dalam melakukan transformasi
sosial. Mereka berperan sebagai pemimpin keagamaan umatnya.
NU sendiri memiliki
organisasi pengkaderan perempuan bernama IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul
Ulama). Melalui organisasi ini, ideologi moderat yang diembannya menjadikan
perempuan (pada umumnya) dan pelajar putri (pada khususnya) sebagai lokomotif
terdepan dalam membina pendidikan Islam dan ideologi moderat, sehingga mengikis
segala paham ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik, kini, esok, dan seterusnya.
*Penulis : Whasfi Velasufah (Calon Ketua Umum PP IPPNU).
Baca juga: