NU dan Politik, Upaya untuk Terus Menjaga Keseimbangan. (Foto: NU Online) |
MEDIA IPNU - Khittah Plus
NU atas pemikiran atau gagasan dari Mahbub Djunaidi dan gerakan PBNU terkini.
Dalam usianya ke-100 tahun Nahdlatul Ulama (NU) yang telah berlalu ini,
ada banyak sekali “belokan” sejarah yang tak seorang pun menduga sebelumnya.
Bahkan Indonesia merdeka adalah ketidakterdugaan. Kekalahan Komunisme
internasional, Kebangkitan Syiah Imamiyah, reformasi politik di Indonesia,
Keruntuhan Timur Tengah, itu semua jauh dari ramalan, setidak – tidaknya
mengenai waktu tibanya.
NU yang telah memasuki
abad keduanya, tentu harus mampu menjawab tantangan – tantangan zaman yang
begitu kompleks dan berubah dengan cepat. Kh Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya)
selaku ketua umum PBNU, dalam buku nya yang berjudul PBNU (perjuangan besar
Nahdlatul Ulama) mengatakan “Berpikir tentang NU pada abad keduanya itu berlebihan. Memikirkan proyeksi beberapa puluh tahun ke depan mungkin masih masuk akal,
tetapi 100 tahun adalah masa yang terlalu panjang. Apalagi di tengah tidak
menentunya situasi Global saat ini”.
Perkataan Gus Yahya dalam
bukunya tersebut, mengisyaratkan bahwa NU harus menyiapkan banyak hal untuk
menyambut abad ke duanya. Namun, di sisi lain juga tidak boleh lupa atau
meninggalkan sejarah dalam tubuh NU sendiri. Karena dengan sejarah kita akan
belajar dari masalah dan menemukan solusinya.
Salah satu produk sejarah
NU yang mungkin cocok di aplikasikan dalam memasuki abad ke – duanya adalah
gagasan tentang “Khittah Plus NU”. Namun, sebelum beranjak membahas tentang
Khittah Plus NU, kurang afdhol jika kita tidak membahas mengenai sejarah
Khittah NU pada muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984 yang menyatakan NU
kembali ke Khittah 1926.
Kembalinya NU ke Khittah
1926, maksudnya adalah dengan berakhirnya transformasi sosial politik NU dan
meninggalkan sebagal macam bentuk politik praktis lalu mengembalikan NU kepada
tujuan berdirinya yang bergerak pada bidang keagamaan, pendidikan sosial dan
bidang -bidang yang menyentuh kesejahteraan dan nasib warga Indonesia,
Khususnya warga NU.
Terjadinya Khittah NU
pada Muktamar ke – 27 di Situbondo sebenarnya adalah respon NU dari
ketidakmenentuannya situasi Politik di Indonesia pada saat itu. Peralihan
pemerintahan rezim Soekarno ke rezim Soeharto merupakan babak baru perpolitikan
di Indonesia. Di mana sejak tahun 1973, pemerintahan Orde Baru “ menertibkan”
partai – partai pemilu, dari 10 partai peserta pemilu 1971, di sederhanakan
menjadi dua partai.
Partai-partai yang
berasas Nasionalisme di lebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI),
sedangkan partai- partai yang berasaskan Islam di lebur menjadi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Partai NU tidak di akui lagi dan di haruskan
melebur ke dalam PPP. Sedangkan Golkar (Golongan Karya), tidak di akui sebagai
partai, tapi diperbolehkan sebagai salah satu kontestan pemilu.
Dengan peraturan
Multipartai yang di terapkan oleh pemerintahan Orde baru ini memaksa NU untuk
bergabung ke dalam PPP. Berfusinya NU ke dalam PPP membawa dampak buruk bagi NU
banyak politisi NU yang disingkirkan dalam kepengurusan NU. Yang akhirnya NU
mengambil sikap tegas melepaskan diri dari PPP dan meninggalkan politik
praktis.
Keluarnya NU dari
PPP tidak hanya di akibatkan oleh peraturan pemerintah orde baru. Namun,
juga di akibatkan oleh kepemimpinan H.J. Naro dalam tubuh PPP yang di anggap
otoriter oleh tokoh – tokoh NU. Akibatnya tokoh- tokoh NU merasa kecewa dan
akhirnya memberanikan keluar dari PPP dan pada Muktamar NU ke 27 di Situbondo
pada tahun 1984 NU menyatakan kembali ke Khittah 1926.
Kembalinya ke Khittah
1926 dan meninggalkan segala macam bentuk politik praktis. Di perkuat ketika
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi ketua umum PBNU dan membuat
peraturan SK No. 01/PBNU/I – 1995, 11 Januari 1985 yang isinya :
- Pengurus Harian Nahdlatul Ulama tidak di perkenankan merangkap jabatan menjadi pengurus harian partai politik/organisasi sosial manapun.
- Batas waktu pelaksanaan tersebut pada angka 1 (satu) di atas adalah satu tahun untuk wilayah dan dua tahun untuk cabang
- Kepada pengurus wilayah dan cabang NU di seluruh Indonesia supaya mengambil arah pelaksanaan keputusan itu.
Adanya Muktamar NU ke 27
di Situbondo dan SK yang di keluarkan oleh PBNU pada 11 Januari 1985 tentang
perangkapan jabatan merupakan langkah awal NU untuk meninggalkan politik
praktis.
Namun, meski sudah ada
rambu – rambu larangan untuk merangkap jabatan tetapi masih kalah dengan
tokoh NU untuk tetap berpolitik. Banyak tokoh NU yang dalam struktural
masuk dalam jajaran kepengurusan partai politik, utamanya PPP. Seperti H. Imron
Rosyadi, H Imam Afwan, Kiai Syansuri Badawi dan beberapa tokoh lainnya. Tentu
ini sangat tidak sesuai dengan realitas dan hasil Muktamar ke 27 Situbondo
serta Sk PBNU 1985, hal ini yang mendasari H. Mahbub Djunaidi untuk memberikan
gagasan tentang “Khittah Plus NU”.
Khittah Plus NU sebagai
Bentuk Kemoderatan Politik NU
Gagasan Khittah Plus NU
di kemukakan Mahbub Djunaidi dan menjadi pembahasan penting dalam konbes 15 -18
November 1987 di Cilacap yang menuai Pro dan Kontra dikalangan NU. Dukungan
terhadap Khittah Plus datang dari politisi NU yang menginginkan untuk kembali
terjun kedalam masalah politik praktis. Sedangkan Kubu menolak adalah para
tokoh NU yang ingin mengembalikan ke Khittah 1926.
Latar belakang pemikiran
Mahbub Djunaidi tentang Khittah Plus ini muncul ketika melihat keputusan
muktamar NU di situbondo. Mahbub Djunaidi beranggapan bahwa politik adalah
jalan yang efektif untuk mencapai tujuan. Karena melihat definisi politik
secara singkat adalah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik.
Mahbub mengungkapkan
idenya tentang Khittah Plus tersebut dalam majalah yang isinya sebagai berikut
:
“Apa pikiran NU kembali jadi partai itu sebuah penyimpangan mendasar Khittah 1926? Tidak perlu begitu. Taruhlah sekadar “Khittah Plus”. Toh asal mula Khittah takk lebih dan tak kurang dari kekecewaan pemimpin NU periode sebelum muktamar situbondo yang di anggap mengabaikan urusan pendidikan dan sosial yang di tambah dengan rasa sakit hati terhadap perlakuan PPP”.
Apa yang telah di gagas
oleh Mahbub Djunaidi pada waktu lalu sebenarnya sama seperti visi dari abad ke
dua NU ini yang di kampanyekan oleh ketua Umum PBNU KH. Yahya Kholil Staquf
yakni “Agenda peradaban”.
Gus Yahya dalam bukunya
PBNU bahkan menulisnya dalam salah satu sub bab bukunya bahwa politik adalah
sebuah jalan dan mengatakan bahwa untuk keberhasilan perjuangan itu, mau tidak
mau NU harus berpolitik. "Dalam konteks sekarang, politik, bagaimanapun,
adalah jalur cepat untuk membangun peradaban,” tulis Gus Yahya.
Penulis: Muhammad Alwi
Hasan (Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya)
Artikel ini telah terbit di nunganjuk.or.id tanggal 4 Juni 2022 dengan judul: "Membaca Kembali Khittah Plus NU ala Mahbub Djunaidi"
Baca juga:
- Ketua Umum Vela Disiapkan Jadi Kader IPPNU Sejak di Ibtidaiyah
- Pelajar NU Bali Peringati HUT RI di Ponpes Tebuireng Jombang
- Keseruan Lomba IPNU IPPNU Bagor Nganjuk Rayakan HUT RI
- Diklatama CBP KPP Batealit Jepara Wujudkan Kader Responsif
- Ketua IPNU Lumajang: Momen Kemerdekaan, Semangat Berjuang
Khittah Plus NU Mahbub Djunaidi dan Gerakan PBNU Terkini. Ini Khittah Plus NU Mahbub Djunaidi dan Gerakan PBNU Terkini. Info Khittah Plus NU Mahbub Djunaidi dan Gerakan PBNU Terkini. Kini Khittah Plus NU Mahbub Djunaidi dan Gerakan PBNU Terkini. Mengenai Khittah Plus NU Mahbub Djunaidi dan Gerakan PBNU Terkini. Tentang Khittah Plus NU Mahbub Djunaidi dan Gerakan PBNU Terkini. Khittah Plus NU Mahbub Djunaidi dan Gerakan PBNU Terkini. Ini Khittah Plus NU Mahbub Djunaidi dan Gerakan PBNU Terkini. Khittah Plus NU Mahbub Djunaidi dan Gerakan PBNU Terkini. Info Khittah Plus NU Mahbub Djunaidi dan Gerakan PBNU Terkini. Khittah Plus NU.