Calon Ketua Umum PP IPNU Periode 2022-2025, M. Ishomuddin Haidar. |
MEDIA IPNU. Pelajar, Radikalisme, dan Budaya Literasi.
Penyebaran paham radikalisme di Indonesia sebagai negara yang penuh keberagaman
(mega diversity country) kian semakin mengkhawatirkan, proses penyebaran yang
masif dengan mengatasnamakan banyak hal yang terkadang membuat kita ‘kelabakan’
dalam menanganinya, dan yang menggelitikkan lagi adalah radikalisasi seringkali
didesain seakan-akan berkaitan erat dengan agama baik secara nilai (value)
maupun simbol.
Akan tetapi yang lebih parah lagi adalah mereka selalu
menyeret ajaran agama sebagai pembenaran, padahal hal tersebut tentu sangat
berlainan dengan nilai dan ajaran agama apapun.
Sementara beberapa fakta menunjukkan radikalisme yang selama
ini banyak mengatasnamakan agama sebenarnya lebih mengakar pada alasan atau
kepentingan politik, misalnya terbentuknya Islamic State of Irak and Syiria
(ISIS) yang banyak melakukan kekerasan dan teror semata-mata orientasinya
adalah untuk menyingkirkan lawan politik atau kelompok yang berlainan paham
dengan mereka.
Sebenarnya secara garis besar, ada tiga faktor yang kemudian
menjadi pendorong dalam penyebaran paham radikalisme ini, seperti yang
disebutkan dalam sebuah jurnal studi agama dan pemikiran islam yang bertajuk
Radikalisme di Indonesia: Antara Historitas dan Antropisitas.
Pertama, perkembangan dari tingkat global seperti potret
situasi yang kacau di Negara-negara timur tengah. Kedua, tersebarnya paham
wahabi yang berasal dari Arab Saudi. Dan yang ketiga, faktor kemiskinan.
Paham radikalisme menyebar melalui celah-celah kecil dengan
memanfaatkan kelengahan-kelengahan seseorang yang kemudian merangsek masuk
kepada target sasaran penyebarannya yang juga tak pandang usia, jenis kelamin
hingga kelas sosial, utamanya mengacu tiga entitas yang berdasarkan data temuan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2020 paling rentan
terpapar radikalisme yakni anak muda, masyarakat urban dan perempuan.
Bicara ketiga entitas tersebut tak bisa dielakkan dari
perkembangan zaman utamanya media sosial yang luar biasa yang kemudian menjadi
jalur penyebaran bibit radikalisme baru dan memiliki potensi besar yang akan
meledak dikemudian hari dan kekhawatiran ini hanya soal bom waktu saja.
Faktor kekuatan penyebaran media sosial yang bersifat
borderless ini menjadi tantangan besar bagi komponen deradikalisasi seluruhnya
agar efektifitas preventif kemudian menjadi solutif pada sasaran programnya.
Sementara itu hasil monitoring BNPT bersama Kepolisian, Badan
Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelejen Nasional (BIN) maupun
Kementerian Komunikasi dan Informatika cukup mencengangkan, sebab darisana
ditemukan 600 akun berpotensi radikal yang kemudian melahirkan 650 konten
propaganda, 409 diantaranya termasuk konten yang bersifat umum dan merupakan
konten informasi serangan.
Selanjutnya ada 147 konten anti Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), 85 konten anti Pancasila, dan 7 konten bernada intoleran dan
ada 2 konten beraroma paham takfiri serta 40 konten tentang pendanaan
terorisme.
Pelajar, Radikalisme, dan Budaya Literasi. Sebuah hipotesa
baru soal problem individu yang berkaitan dengan konsumerisme informasi global
yakni punya cara khusus dalam penyerapan berita informasi yang hanya sekedar
melihat headline berita (news headline literation) tanpa melihat lebih jauh isi
berita yang didapat dari sumber – sumber terverifikasi misalnya, alih – alih
melakukan komparasi informasi tersebut, malah kemudian mengamini berita
tersebut menjadi kebenaran subjektif, ini merupakan problem yang tak dapat
dianggap kecil urusannya.
Semakin lama pola konsumerisme yang tidak komprehensif maka
daya nalar individu tersebut akan mudah sekali dilakukan doktrinasi suatu kelompok
aliran menyimpang. Setidaknya ada 3 langkah strategis yang dapat diamalkan
untuk mencegah perkembangbiakan bibit radikalisme.
Ketiga langkah itu yakni penelusuran secara berkala dan
terstruktur dengan mengetahui kelompok-kelompok yang berisiko berafiliasi paham
radikalisme, mengembangkan program deradikalisasi melalui budaya cerdas
berliterasi digital, dan memaksimalkan kerjasama dengan banyak pihak untuk
mengedukasi yang mendukung perilaku radikal.
Sayangnya, hampir dari semua data selalu menunjukkan tingkat
literasi, utamanya literasi baca, tulis dan digital anak Indonesia berada
diklasemen bawah. Seperti data UESCO misalnya, yang menunjukkan bahwa indeks
kegemaran membaca anak Indonesia hanya 0,001 persen yang artinya dari seribu
anak Indonesia hanya satu yang gemar membaca, selain itu sebuah riset
Connectycut University yang bertajuk the most literate nastion in the world
yang memposisikan Indonesia di posisi enam puluh satu dari enam puluh dua
negara.
Belum lagi Programme for International Student Assassement
(PISA) yang memposisikan Indonesia di posisi tujuh puluh dua dari seratus tiga
puluh dua negara. Sementara Indeks Literasi Digital Indonesia berada pada angka
3,49 persen.
Darisanalah kemudian dapat dideskripsikan bahwa betapa
kecakapan literasi di Indonesia cukup mencemaskan, menimbulkan tanda tanya.
MENANGKAL RADIKALISME
Pelajar, Radikalisme, dan Budaya Literasi. Barangkali sejenak
kita dapat merefleksikan sebuah histori Bangsa Arab dan Zionis, dalam sebuah
artikel disebutkan bahwa sebenarnya rencana zionis untuk menduduki Palestina
itu sudah diketahui sejak lama bahkan rencana tersebut diungkapkan lima puluh
tahun sebelum pendudukan.
Lantas mengapa kemudian mereka tidak takut orang Arab akan
membaca rencana mereka dan ujung-ujungnya akan menggagalkan rencana mereka?
Ternyata ada seorang Yahudi yang dikutip oleh DR Raghib
As-Sirjani dalam bukunya, Spriritual Reading; hidup lebih bermakna dengan
membaca mengatakan bahwa “Kita orang Yahudi tidak takut dengan umat Islam,
karena umat Islam adalah umat yang malas membaca.”
Senada dengan hal tersebut, seorang mantan menteri pertahanan
Israel, Moshe Dayan mengungkapkan alasan mereka tidak takut dengan umat Islam
“Yakinlah, mereka itu malas membaca, dan jika mereka membaca tidak mengerti,
dan jika mereka mengerti, mereka tidak bertindak.”
Padahal, sejarah telah mencatat bagaimana kejayaan Islam
dimasa lalu dibangun dengan budaya membaca yang kuat hingga melahirkan ilmuan
besar seperti Ibnu Syna, Ibnu Rusdy dll. Kisah diatas barangkali menjadi sinyal
akan pentingnya membaca. Lantas dalam konteks penanganan radikalisme barangkali
membaca merupakan senjata yang mematikan The Deadly Weapon.
Orang yang malas membaca tentu menjadikan pola pikir dan
pemikiran mereka serta pengetahuan mereka menjadi dangkal serta mudah
terprovokasi. Maka orang yang terdidik dan luas bacaannya akan mustahil
bersudut pandang sempit, dan radikal, dan juga orang yang literat akan memiliki
kebijaksanaan dalam menyikapi, menilai dan mengambil keputusan.
Maka yang perlu kemudian multi pihak (pentahelix)
bergotong-royong menggelorakan literasi dengan membuat masyarakat dapat
menggemari pustaka, membuat dan mengarahkan masyarakat agar dapat memilah dan
memilih bacaan yang tepat, serta memahamkan bahwa membaca adalah sebuat
kebutuhan bukan tuntutan semata.
Sebab membaca mempunyai impact yang bagus dalam membangun
konstruk berpikir, seperti adagium yang sering didengungkan bahwa hati-hati
dengan pikiranmu, karena akan menjadi ucapanmu, hati-hati dengan ucapanmu
karena akan menjadi tindakanmu, hati-hati dengan kebiasaanmu karena akan karena
menjadi karaktermu
Oleh: Muhammad Ishomuddin Haidar (Calon Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Periode 2022-2025)