Nasionalis adalah Cinta Tanah Air, Kalau Intelektualis Agamis? | Ilustrasi: brilio.net |
MEDIA IPNU - Santri itu tidak hanya
nasionalis dan agamis, tapi juga intelektualis. Nasionalis adalah cinta tanah air dan ilmu pengetahuan. Jika kamu pernah nengok dunia pesantren, pasti yang kamu tahu santri itu bersongkok, pakai sarung, dan bawa kitab kuning (bahasa kerennya literatur keislaman).
Nih yang keren lagi, bahwa
santri itu juga belajar tentang plato, aristoteles, descartes, habermas,
chomsky,kebudayaan, bahkan teknologi lho.
Pernahkah kamu buka media
sosial instagram atau facebook misalnya, kemudian ketik nama santri ?
Pasti nanti yang akan keluar
adalah dunia santri dengan jargonnya yang fenomenal saat ini, yaitu nasionalis
dan agamis. Nasionalis yang cinta akan tanah airnya indonesia, tidak
menghendaki perubahan negara sebagai mandat founding father, anti kolonialisme
dan imperialisme, serta berjiwa pancasila.
Agamis yang menjunjung tinggi
nilai-nilai keislaman yaitu, tauhid, hablum minalloh, hablum minan nas, dan
hablum minal alam baik sebagai manhaj fikr maupun sebagai manhaj harokah. Eh
iya sebelum jauh-jauh kita terbang ke antariksa, dalam dunia ilmiah apa sih
santri itu ?
Tentang Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi
Kalau kamu bukan kalangan
pesantren, kemudian kuliah di jurusan sosial humaniora pasti ketika membahas
tentang santri merujuk pada penelitian Clifford Geertz di Mojokuto (itu lho
Pare, Kediri) tahun 1960-an, yaitu The Religion of Java atau yang lebih famous
pasca diterbitkan menjadi “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi”.
Dalam bukunya, Geertz mendifinisikan santri sebagai varian masyakat di Jawa yang memberikan perhatian terhadap doktrin (ajaran agama Islam).
Dengan meletakkan dasar pada ritus ajaran islam, Geertz melanjutkan bahwa varian masyarakat Jawa ini fokus terhadap peribadatan pokok keagamaan yang penting, khususnya pada sisi pelaksanaan sembahyang (shalat) yang merupakan tanda istimewa untuk menyebut seorang santri.
Sampai istilah ini, kepikiran nggak sih apa bedanya santri
menurut Geertz dengan istilah santri saat ini, millenial lah ya istilahnya ?.
Syahdan,,, Pada tahun-tahun berikutnya setelah penelitian Geertz diterbitkan tahun 1985, banyak kritikan muncul terhadap buku Geertz. Salah satu sosok intelektual yang melayangkan kritikan tersebut adalah Dr. Sakban Rosidi dalam kuliah filsafat Indonesia Bernalar di Malang.
Dr. Sakban mengungkapkan bahwa Geertz tidak cermat dalam
mengkategorisaikan masyarakat jawa yaitu tentang trikotomi abangan, santri, dan
priyayi. Identitas santri dan abangan lebih kepada hasil pelabelan perilaku
keagamaan, sedangkan priyayi lebih identik ke status sosial.
Dr. Sakban menambahkan bahwa
priyayi dalam buku Geertz tidak mempunyai pasangan (millenial membacanya
jomblo) karena jika status sosial priyayi didefinisikan sebagai pemilikan
derajat kebangsawanan masyarakat Jawa, maka dalam kategorisasi harus ada
wong-cilik sebagai stratifikasi sosial yang berbeda dengan priyayi.
Intelektual lain yang mengkritisi penelitian Geertz adalah Dr. Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Menurut cak Nur trikotomi yang didefinisikan Geertz terbukti kurang tepat karena sekitar tahun 1990 varian priyayi dan abangan dalam pendifinisannya juga dapat dikatakan sebagai santri.
Nggk usah jauh-jauh deh, kita bisa lihat waktu
PILPRES kemaren Sandiaga uno sering disebut-sebut sebagai santri, ada lagi yang
menyebut santri kekinian. Hmm hmm hmm,,, serasa istilah santri saat ini lebih
eksis dari pada priyayi ya hihihi.
Menurut Gus Mus dalam NU Online, terlepas dari tinggal di pesantren dan pandai
kitab kuning. Santri adalah Yang mencintai tanah airnya (tempat dia dilahirkan,
menghirup udaranya, dan bersujud di atasnya) dan menghargai tradisi-budaya nya,
yang menghormati guru dan orang tua hingga tiada.
Santri juga yang menyayangi sesama hamba Allah, yang mencintai ilmu dan tidak pernah berhenti belajar (minal mahdi ilãl lahdi), Yang menganggap agama sebagai anugerah dan sebagai wasilah mendapat ridha Tuhannya. Santri ialah hamba yang bersyukur. Oh jadi begitu ya, serasa berat bingitz jadi santri.
Saya pun ikut-ikutan nih, kalau
santri millenial tuh nggk hanya harus memahami definisi santri seperti yang
disebutkan beliau-beliau diatas, tapi santri juga harus paham akan teknologi
dan dunia intelektualis.
Santri, Nasionalisme dan Intelektual
Nasionalis adalah Cinta Tanah
Air. Nah ketika kamu tadi sudah cross check kata santri di Instagram atau
facebook dan keluar kata nasionalis dan agamis. Sebagian dari kamu mungkin
terbesit bahwa nasionalisme santri adalah cinta tanah air melalui perayaan hari
santri atau hari kemerdekaan misalnya, atau malah cinta tanah air dengan jargon
perlawanannya terhadap konsep khilafah. Yah itu karena kebanyakan algoritma
instagram akan mengarah kesitu.
Nah sampai disini, kita
beranjak sedikit tentang nasionalisme santri dan jiwa-jiwa intelektualnya,
karena agamis menurut saya sih sudah terpersonifikasikan ke dalam diri santri.
Terlepas personalnya ya.
Nasionalis adalah Cinta Tanah
Air. Nasionalisme santri sering identik dengan nasionalisme symbolicum yakni
cinta tanah air dengan simbol, perayaan simbol, bahkan pelaku simbol. Memang
nasionalisme seperti ini baik dalam kondisi tertentu, tetapi akan tidak pas
jika santri sudah menemukan roh intelektualnya. Karena Nasionalisme santri
(intelektual) adalah nasionalisme subtansial yang mana tidak hanya sebagai
nasionalisme simbolik saja tapi juga nasionalisme yang memperjuangkan
kebenaran, nasionalisme yang menjunjung tinggi keadilan, dan nasionalisme yang
berperang melawan penindasan atas dasar mandat kenabian.
Nasionalis adalah Cinta Tanah Air. Selaras dengan teologi pembebasan, bahwa nasionalisme harus berada pada koredor kemaslahatan rakyat. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, nasionalisme santri harus berpegang teguh pada (politik) kebangsaan, kekuasaan, dan kerakyatan.
Kebangsaan berarti menjaga keutuhan negara Republik Indonesia,
kekuasaan berarti menempati pos-pos strategis dalam negara sebagai upaya
memperjuangkan aspirasi rakyat, dan kerakyatan yang berarti kemaslahatan rakyat
adalah tujuan utama. (Ternyata oh ternyata nasionalisme santri tuh begitu).
Nah tidak hanya itu,
nasionalisme santri harus dibarengi dengan pribadi yang berintelektual agar
tidak seperti daun kering yang ketika ada api akan tersulut kemana-mana. Bahasa
aktifisnya sih, tangan kanan membawa Al-Quran, Hadist, dan Kitab kuning. Tangan
kiri membawa buku-buku filsafat, buku kauniyah (Biogeofisik & Sosial),
serta teknologi.
Ada lagi yang benar-benar keren, siapa sangka di pesantren juga mempelajari tentang filsafat plato, aristoteles, descartes, abid aljabiri bahkan sampai mempelajari bagaimana dunia bekerja karya noam chomsky. Maka tak jarang jika pesantren kerap melahirkan para pemikir dan para intelektual. Yang terakhir, (kesan saya, hihihi) bahwa menjadi santri adalah menjadi pejuang.
Penulis: Ahmad Fahmil Aziz (Kandidat Magister Sejarah Universitas Gadjah Mada)