Izzuddin Abdussalam Seorang Sulthonul Ulama yang Kegigihan | jaringansantri.com |
MEDIA IPNU - Izzuddin Abdussalam Seorang
Sulthonul Ulama yang Giat Belajar. Tidak terdapat batasan umur untuk seseorangpencari ilmu. Seperti itu rasanya ibrah dari cerita hidup Syaikh Izzudin
Abdussalam. Nama lengkap dia merupakan Abu Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin
Abdussalam bin Abul Qosim bin Al- Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab As Sulmi Al
Maghrobi Ad Damasyqi Al Mishri Asy Syafi’i.
Nama asli Syaikh Izzudin
merupakan Abdul Aziz, Abu Muhammad merupakan kunyah dia sebaliknya “Izuddin”
merupakan laqob (gelar) dia. Pemberian gelar dengan tambahan
“ad Din” (agama) lagi
masyhur pada masa itu. Banyak para ulama’ serta para pemimpin meningkatkan kata
tersebut dalam gelar mereka. Sebut saja misalnya Sholahuddin Yusuf, Ruknuddin
Adzdzohir Beibres, Tajuddin Abdul Wahab bin Bintul Al ’A’aaz, serta yang lain.
Tetapi, umumnya penyebutan nama dia disingkat dengan “Al ‘Izz bin Abdussalam”.
Tidak hanya gelar
Izzudin, dia pula masyhur dengan gelar “Sulthonul Ulama” yang maksudnya raja
dari para ulama. Gelar ini dipopulerkan oleh murid dia, Syaikh Ibnu Daqiq
Al‘Id. Mungkin gelar ini disematkan pada nama dia lantaran dia diketahui selaku
seseorang ulama’ yang berani menentang kebijakan- kebijakan pemerintah yang
tidak sejalan dengan ajaran agama, serta menghadiri para penguasa buat
mengantarkan hujjah- hujjah dia di hadapan mereka.
Ada pula nisbat “As
Sulmi” sebagaimana yang tertera pada lampiran awal naskah kitab tafsir dia,
serta pula sebagaimana dikemukakan dalam sebagian sumber yang menarangkan
biografi dia, menuju pada satu kabilah yang bernama Bani Sulaim, salah satu
kabilah yang masih dari kabilah kabilah Mudhor. Wilayah asal leluhur Syaikh
Izzudin merupakan wilayah Maghrib (Maroko) sebab itu ada kata “Al Maghrobi”
pada nisbatnya.
Lalu leluhur Syekh
Izzuddin bin Abdussalam pindah ke Damaskus, serta di situlah dia dilahirkan.
Oleh karenanya diberi nisbat “Ad Damasyqi”. Sebaliknya nisbat “Al Mishri”
dicantumkan sebab dia pindah ke negeri Mesir serta menetap di situ. Ada pula
nisbat “As Syafi’i” telah maklum rasanya kalau dia ialah pengikut madzhab Syafi’i
walaupun dalam sebagian perihal dia mempunyai komentar yang berseberangan
dengan madzhab Syafi’i.
Kelahiran serta Perkembangan
Seluruh sumber sejarah
yang mencantumkan biografi dia setuju kalau dia dilahirkan di Damaskus, Syiria.
Cuma saja ada 2 komentar berbeda menimpa tahun kelahirannya. Sebagian berkata
dia lahir pada tahun 557 H. serta sebagian yang lain berkata dia lahir pada
tahun 578 H.
Syaikh Izzudin Ibnu Abdis
Salam dilahirkan dari keluarga miskin serta generasi biasa, sebab seperti itu
sangat sedikit data yang dapat didapatkan menimpa masa kecil dia serta sejarah
nenek moyangnya, sebab memanglah dia tidaklah generasi seseorang ulama’, orang
terpandang, ataupun pemimpin pemerintahan. Syaikh Ibnu As- Subki mengisahkan
kalau pada masa dini hidupnya, Syaikh Izzuddin sangatlah faqir, sebab itu lah
Syaikh Izzuddin baru menuntut ilmu pada umur tua.
Kegigihan dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Tajuddin bin Abdul
Wahab as Subki (meninggal 771 H) sempat merekam masa kecil Syekh Izzuddin dalam
kitab biografi miliknya yang bertajuk Thabaqat as Syafi’iyah Kubra. Dalam kitab
tersebut As Subki menggambarkan gimana perjuangan Syaikh Izzuddin bin
Abdissalam kala mencari ilmu.
Sebab keadaan ekonomi
yang tidak membolehkan, Syaikh Izzuddin baru dapat merasakan pembelajaran di
umur yang telah tidak lagi muda. Dia juga tiap hari wajib menginap di emperan
Masjid Agung Umayah di Damaskus, sebab tidak memiliki bekal yang lumayan.
Kendati demikian, dia senantiasa menjalaninya dengan tekun serta tabah.
Walaupun dia baru mulai
menuntut ilmu pada umur tua, tetapi dia sangatlah bergairah dalam menghafalkan
kitab, sangat aktif belajar, serta secara berkala mengaji pada para ulama besar
pada masanya. Seluruh itu dia jalani demi menebus masa kecil dia yang tidak
pernah mengenyam pembelajaran sebab keaadaan keluarganya yang miskin.
Intensitas serta ketelatenan dia dapat nampak dari perilaku dia yang tidak
ingin memutuskan pelajaran saat sebelum betul betul menyelesaikannya.
Diceritakan kalau sesuatu
kala, guru dia mengatakan: “engkau telah tidak memerlukan apa apa lagi dariku”,
tetapi Syaikh Izzuddin senantiasa saja mengaji dengan tekun kepada Si Guru
serta menjajaki pelajaran yang diampu sampai kajian kitab yang diajarkan
tuntas. Intensitas dia pula sangat nampak dari kebiasaaan tidak sering tidur
pada malam hari.
Dia sempat mengatakan
kalau sepanjang 30 tahun, dirinya tidak hendak tidur saat sebelum betul- betul
menguasai kitab yang lagi dia pelajari. Tidak hanya itu, keberhasilan dia pula
didukung dari area dia tinggal, ialah Damaskus yang pada waktu itu jadi kawasan
pusat ulama dengan kemampuan bermacam disiplin ilmu..
Awal Futuh Syaikh Izzudin bin Abdussalam
Sesuatu kala, pada malam
yang sangat dingin, semacam biasa, Syaikh Izzudin menginap di emperan masjid.
Rasa letih yang begitu mendera, membuat dia lekas tertidur. Merambah tengah
malam dia hadapi mimpi basah (ihtilam). Dia juga bergegas lekas mandi di kolam
masjid tersebut. Dia pernah ragu, sebab dikala itu cuaca di Damaskus sangatlah
dingin.
Pada dikala yang
bertepatan, terbersit di benak Syekh Izzuddin buat menunda mandinya esok pagi.
Tetapi cepat- cepat dia putuskan buat senantiasa mandi dikala itu pula. Tidak
hirau seberapa dingin airnya. Setelahnya, dia juga kembali tidur. Tanpa
disangka, peristiwa itu kesekian sampai 3 kali serta dia senantiasa memforsir
dirinya buat mandi yang buatnya wajib tidak sadarkan diri sebab kedinginan.
Pada dikala itu pula, dia mendengar suatu suara lirih, yang berbunyi:
ÙŠَا ابْÙ†َ عَبْدِ السَّÙ„َامِ
Ø£َتُرِÙŠْدُ الْعِÙ„ْÙ…َ Ø£َÙ…ِ الْعَÙ…َÙ„َ
Artinya, “Wahai Ibn
Abdussalam, apa yang engkau kehendaki, ilmu atau amal?”
Mendengar pertanyaan yang
tidak diketahui pengucapnya itu, spontan Syekh Izzuddin langsung menjawab,
“Tentu saja ilmu, karena dengannya aku akan bisa beramal.”
Biidznillah, keesokan
harinya Syekh Izzuddin seolah menemukan futuh (terbukanya uraian yang diraih
tanpa belajar). Berkat kegigihannya malam itu, Allah membagikan anugerah.
Hatinya terasa begitu luas. Perihal itu dia buktikan dengan menghafal kitab at
Tanbih karya Syaikh asy Syairazi dalam waktu yang relatif pendek.
Sulthonul Ulama Syekh
Izzuddin bin Abdussalam juga terus menekuni ilmu. Dia menghadiri ulama ulama
besar di masanya semacam Syekh Syaifuddin al Amid, Syaikh Fakhruddin Ibnu
Asakir. Sampai akhirnya dia jadi ulama besar di Damaskus. (As Subki, Thabqatu
asy Syafi’ iyah, 1413, juz VIII, h. 213).
Guru guru Syaikh Izzuddin bin Abdussalam
Diantara guru guru dia
merupakan:
- Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harotsani
- Syaikh Saifuddin Al-Amudi
- Syaikh Fakhruddin bin ‘Asakir Abu Manshur
- Syaikh Al-Qosim bin ‘Asakir
- Syaikh Abdullathif bin Syaikhus Syuyukh
- Syaikh Al-Khusyu’i
- Syaikh Hanbal Ar-Rushofi
- Syaikh Umar bin Thobarzad
- Ulama’ yang Produktif
Sulthonul Ulama Syaikh
Izzuddin tidak hanya diketahui selaku rajanya para ulama( shultanul ulama)
dengan kemampuan ilmu yang sangat luas serta banyak, dia pula jadi salah satu
ulama yang sangat produktif. Buat meyakinkan kalau Syekh Izzuddin bin
Abdussalam sangat luas keilmuannya, dia sudah mempunyai banyak karya agung yang
tidak henti- hentinya senantiasa dikaji oleh ulama pada masanya sampai dikala
ini.
Dalam ilmu tafsir, dia
mempunyai salah satu karya monumental yang diketahui dengan Tafsir al Kabir li
Ibn Abdissalam. Dalam ilmu fiqih, dia mempunyai banyak karya, misalnya al Ilmam
fi Adillatil Ahkam, Qawaidusy Syari’ah al Fawaid, serta yang sangat populer
merupakan kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam.
Kitab kitab lain yang
pula karya Sulthonul Ulama Syaikh Izzuddin di antara lain: al Fatawa Syekh al
Izz, al Ghayah fi Ikhtisharin Nihayah, al Isyarah ilal Ijaz fi Ba’di Anwa’il
Majaz, Masailuth Thariqah, al Farqu Bainal Islam wal Iman, Maqashidur Ri’bapak,
serta masih banyak lagi kitab yang lain.
Cerita di atas membagikan
suatu teladan kalau saat sebelum memperoleh futuh dari Allah SWT, Syekh
Izzuddin telah berupaya dengan sekuat tenaga buat senantiasa belajar, sekali
juga keadaan keluarga yang sangat terbatas Mengenai finansial tidak membagikan
sokongan pada perkembangan intektualitasnya.
Cerita Syaikh Izzudin
pula berikan pelajaran kalau buat jadi orang alim tidak wajib lahir dari
keluarga alim serta berkecukupan. Sulthonul Ulama Syekh Izzuddin merupakan
contoh kalau orang miskin pula sanggup buat berkembang jadi wujud orang alim
yang keilmuannya diakui oleh para ulama.
Semangat serta keluhuran
cita cita Syaikh Izzuddin pada akhirnya menampilkan kepakaran dia dalam ilmu
fiqih, hadits, ushul fiqih, balaghah, tafsir, serta lain lain selaku ulama yang
disegani di Damaskus, Mesir, serta negeri islam yang lain. Sebagian ulama pada
masa itu menyebut kalau Syaikh Izzuddin sudah menggapai derajat mujtahid,
mufassir, apalagi muhaddits.(dn)
Sumber: gadingpesantren.id
Baca juga: