Perbedaan Daging Sapi dan Babi, Serta Menyoal Isu Terkini
MEDIA IPNU - Daging sapi
adalah salah satu makanan spesial untuk keluarga di Nusantara. Hal tersebut
dapat dinilai dari permintaan daging sapi yang selalu ada di pasaran (walau pun hari lagi sepi pembeli karena harga melambung naik). Akan
tetapi, hal itu terkadang digunakan oleh para pedagang yang tidak bertanggung
jawab untuk menyampurnya dengan daging babi demi memperoleh keuntungan yang
maksimal. Jika berdasar Jurnal Halal LPPOM MUI, agar terhindar dari ulah nakal
itu, warga Indonesia dapat melihat perbedaan daging sapi dan babi secara kasat
mata. Berikut ini adalah perbedaan tersebut.
PERBEDAAN DAGING SAPI DAN BABI
Warna Daging
Daging babi lebih
berwarna pucat daripada daging sapi. Warna dari daging babi hampir mirip dengan
warna dari daging ayam. Kemudian mengenai daging sapi pula lebih berwarna
merah.
Dikutip dari situs
mui.or.id, perbedaan daging sapi dan babi itu tidak bisa dipakai pegangan
utama. Karena, warna daging dari babi campuran terkadang dikamuflase dengan
pelumuran daging sapi.
Meski demikian, kamuflase
tersebut bisa dibersihkan melalui cara direndam dengan air selama beberapa jam.
Namun, masih terdapat juga bagian tertentu dari daging sapi yang warnanya
hampir mirip banget dengan daging babi hingga kemudian bisa sangat sulit
dibedakan.
Serat daging
Mengenai daging sapi,
serat serat dari daging terlihat tampak padat, serta garis garis seratnya
tampak lebih jelas. Namun yang ada pada daging babi, seratnya nampak lebih
samar dan sangat renggang. Poin pembeda tersebut bisa lebih jelas jika kedua
daging direnggangkan atau dijajarkan secara bersamaan.
Lemak daging
Kemudian, perbedaan
daging sapi dan babi dapat terlihat dari lemak, yakni pada tingkat
keelastisannya. Pada daging babi memiliki tekstur lemak yang cendrung lebih
elastis, sedangkan lemak sapi lebih kaku dan berbentuk. Lalu pada daging sapi,
lemaknya terlihat tampak padat dan sebagian lagi berbentuk serat yang menempel
di daging. Di sisi lain, pada daging babi gumpalan lemak terkumpul di ruas
tertentu dan berlapis.
Selain hal di atas, lemak
pada babi sangat basah serta tidak mudah dilepas dari dagingnya. Di sisi lain,
daging sapi agak lebih kering serta terlihat tampak berserat. Akan tetapi,
dikutip dari situs seafast.ipb.ac.id, khalayak umum perlu berhati-hati pada
bagian tertentu seperti halnya ginjal, penampakan lemak babi nyaris mirip dengan
lemak sapi.
Tekstur daging
Poin selanjutnya adalah
bahwa tekstur daging sapi lebih kaku dan padat dibanding dengan daging babi
yang lembek serta mudah diregangkan. Pun saat dipegang bisa terasa perbedaan
yang nyata antara daging sapi dan babi.
Tekstur dari daging babi
sangat kenyal, lalu mudah pula direkahkan. Di sisi lain daging sapi, terasa
solid dan keras hingga akan lumayan sulit diregangkan.
Aroma daging
Perlu diketahui bahwa
aroma dari daging babi punya ciri khas, di sisi lain daging sapi memiliki aroma
anyir, seperti yang diketahui masyarakat. Aroma itulah yang bisa menjadi kunci
untuk merasakan perbedaan daging sapi dan daging babi.
Sayangnya, kemampuan
membedakan melalui aroma ini membutuhkan latihan yang berulang-ulang. Karena,
perbedaan dari keduanya memanglah tidak terlalu signifikan. Jadi, akan lumayan
sulit bagi masyarakat yang sama sekali belum pernah mencium aroma daging babi.
KASUS PENJUAL DAGING SAPI HALAL
Ketidaksukaan terhadap
babi atas nama agama perlu dilucuti. Sebab, ia sudah melampaui ambang batas,
telah berubah menjadi kebencian yang membahayakan hak orang lain.
Tidak memakan babi karena
alasan ajaran agama merupakan hal baik. Hanya saja, ketika pilihan ini berada
dalam level tertentu dan menyebabkan konsumen/produsen babi terlanggar hak
konstitusionalnya, inilah yang Saya (Aan Anshori) maksud dengan "melampaui ambang
batas,"
Viralnya kasus
pemolisiaan warung nasi pandang berdaging babi merupakan satu dari sekian
fragmen ketidaksukaan yang telah berubah menjadi kebencian. Sebelumnya,
beberapa tahun lalu, sekelompok umat Islam di Makassar memaksa sebuah lapak
babi ditutup. Dengan alasan agama, babi begitu dibenci dan dianggap menakutkan
sehingga membuat individu/kelompok nekat berbuat seperti itu.
SINDROM ELEAZAR DAN PERKEMBANGANNYA
Perbedaan Daging Sapi dan Babi, Serta Menyoal Isu Terkini | Ilustrasi: bridgemanimages.com |
Mungkin para pelakunya
secara tidak sadar sedang terjangkiti sindrom Eleazar. Ini istilah Saya (Aan Anshori) sendiri.
Nama Eleazar merujuk pada orang Yahudi terpandang yang dipersekusi Antiochus IV
Epiphanes (175-164 SM) dengan cara dipaksa memakan daging babi.
Eleazar tentu sekuat
tenaga menolaknya. Ia memilih mati dicambuk ketimbang memakan daging babi.
Hanya saja, tidak ada
satu kejadian pun di Indonesia modern, yang terekam dalam dokumentasi publik,
yang menunjukkan adanya praktek pemaksaan mengkonsumsi babi. Setiap gerai babi
pada umumnya memasang tanda cukup jelas agar calon konsumennya sadar sejak
awal.
Gambar: CNNIndonesia.com |
Sebagai muslim, Saya
merasa ketidaksukaan banyak orang Islam terhadap babi telah mendorong mereka
masuk dalam ketakutan luar biasa yang tidak beralasan, fobia. Fobia
menyebabkan seseorang cenderung berbuat destruktif dan merugikan. Padahal
al-Quran telah mewanti-wanti; janganlah kebencianmu pada
sesuatu/seseorang/kelompok membuatmu berlaku tidak adil padanya. Tak terkecuali
terhadap babi dan penikmatnya.
ISLAM MAKMUM KE YAHUDI?
Islam terasa mengikuti
hukum Musa (Taurat) terkait babi. Secara historis, hal ini bukanlah sesuatu
yang rahasia. Saat Nabi Muhammad dan banyak pengikut-awalnya mengalami
persekusi dari beberapa kelompok Mekkah, mereka ditolong komunitas Madinah
(dulu bernama Yathrib).
Kalau kita percaya
Montgomery Watt dalam “Muhammad at Medina,” Madinah merupakan basis kelompok
Yahudi. Relasi Yahudi dan Islam-awal menyebabkan tidak sedikit kemiripan dua
agama ini.
Bahkan, sebelum datang
perintah Tuhan kepada nabi Muhammad terkait pergantian kiblat, Islam-awal
"menemui," tuhannya persis sebagaimana cara orang Yahudi; menghadap
Yerussalem.
Ya, sedekat itu relasi
Islam-Yahudi awalnya. Seperti bestie, saling mendukung, dan saling memengaruhi
satu dengan lainnya, khususnya Yahudi terhadap Islam, tak terkecuali dalam hal
perbabian.
BABI DAN SIKAP AL-QURAN
Jika menelisik Perjanjian
Lama (PL), sangat nampak Yahudi-patriarki melakukan perlawanan total terhadap
babi. Agama ini tidak hanya melarang umatnya memakan hewan ini, namun juga
melarang menyentuhnya.
Gambar: detik.com |
Di hadapan PL, babi
diposisikan sedemikian rendahnya. Tak punya harga diri. Kitab Keluaran, Imamat,
Ulangan, dan Yesaya bisa dirujuk sebagai argumentasinya.
Sebelum membahas
hipotesis ketidaksukaan Yahudi pada babi, Saya merasa penting mengetahui
terlebih dulu sikap Al-Quran terkait binatang ini. Babi dinarasikan Al-Quran
dalam dua gambaran yang pejoratif. Pertama, sebagai simbol negatif perumpaan
orang yang menentang perintah Allah (QS. 5:60). Kedua, sebagai salah satu dari
yang tidak boleh dikonsumsi.
Uniknya, terkait poin
kedua tadi, terdapat 3 ayat al-Quran (QS.2:173; 16:115; 6:145) yang memberi
kelonggaran (kebolehan) memakan daging babi dalam kondisi tertentu,
".. . Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Alloh mahapengampun, mahapenyayang."
Jika dibandingkan dengan
sikap PL yang memborgol rapat keharaman mengkonsumsi daging babi, maka
ayat-ayat al-Quran tadi, meski tetap kaku mengharamkan, terasa mengambil sikap
yang relatif moderat.
Al-Quran seperti berkata,
"Guys, makan babi ndak boleh lho ya. Namun, kalau dalam kondisi terpaksa,
atau ndak sengaja, sepanjang ndak berlebihan, ya ndak papa. Nggak dosa kok,”
Sayangnya, Al-Quran tidak
menjelaskan secara gamblang alasan pelarangan makan babi. Hewan ini oleh
alquran cukup distempel dengan kata harram dan rijsun yang artinya terlarang
dan kotor/najis.
Maka menjadi penting bagi
siapa saja untuk menemukan alasannya. Namun tidak hanya itu, yang terpenting,
kita juga sepatutnya menguji sejauhmana kekokohan alasan tersebut.
Dalam konteks ini, Saya
membangun asumsi dasar; pelaran konsumsi babi dalam Islam diduga kuat
menapaktilasi ajaran Yahudi. Dengan demikian penyingkapan pengharamannya di
Yahudi akan menjadi modalitas bagi kita mengetahui alasan di Islam.
LIMA TEORI TENTANG
PELARANGAN KONSUMSI BABI
Secara ringkas, terdapat
5 "teori" pelarangan konsumsi babi. Pertama, teori kenikmatan yang
diajukan Philo of Alexandria (± 20 SM - 50 M) melalui “On special law 4
(Concerning Animal): 100-107.
Pria ini meyakini
pelarangan makan babi dikarenakan kelezatan dagingnya. Tidak ada daging hewan
darat yang menandingi gurih dan empuknya babi.
Bagi Philo, pelarangan
diperlukan agar orang Yahudi tetap dapat mengontrol kesederhanaan hidup, mampu
menahan nafsu dan kerakusan.
Rasa enak yang
berlebihan, kala itu, menurut Philo, secara moral dan etika dianggap tidak
pantas. Mungkin Philo ada benarnya. Hanya saja, sejauhmana relevansi alasan
tersebut untuk mempertahankan pelarangan dewasa ini?
Teori kedua, teori jijik,
diperkenalkan Moses Maimonades (1138 M - 1204 M). Dia adalah ahli Taurat yang
terpandang dan memiliki peran penting semasa pemerintahan Salahudin al-Ayyubi.
Dalam Dalalat al-Hairin
(Panduan bagi Orang Bingung, 3:14) ia mengatakan Taurat melarang babi karena
--baik perilaku maupun apa yang ia konsumsi-- dianggap menjijikkan. Teori ini
barangkali dengan mudah dibantah, misalnya, dengan mengatakan kenapa kerbau,
bebek, ayam --yang kehidupannya tidak lebih menjijikkan dari babi-- tidak serta
merta terlarang dikonsumsi? Entahlah.
Teori problem alam yang
ditawarkan Marvin Harris merupakan teori ketiga. Ia berargumentasi; pelarangan
babi, saat itu, lebih disebabkan karena faktor alam.
Babi membutuhkan banyak
air untuk hidup. Sedangkan kawasan Timur Tengah yang dikenal berkontur gurun
pasir dianggap tidak mendukung pengembangbiakan babi. Itu sebabnya, untuk
mengatasi persoalan teknis, menurut Harris, babi akhirnya dilarang.
Silahkan percaya pada
Harris kalau mau. Hanya saja, ada informasi menarik dari Isabel Kershner.
Perempuan ini pernah menulis di The New York Times tahun 2013, berjudul
"Who’d Import Pigs to Israel? Ancient Europeans, Researchers Say,"
Menurutnya, sejumlah
arkeolog yang dipimpin Israel Finkelstein melakukan penelitian di wilayah
Levant --saat ini meliputi Israel, Gaza dan Syiria. Wilayah Levant dulunya
dihuni orang Philistine --Goliath, lawan David dalam kisahnya yang terkenal,
berasal dari Philistine.
Para peneliti ini menemukan bukti arkeologis babi pernah dikembangbiakan di sana sekitar tahun 900 SM. Penemuan ini tak pelak mematahkan teori Harris seputar perbabian.
Pematahan ini mendorong
kita untuk menemukan lebih jauh kenapa babi dilarang oleh bangsa Yahudi
sebagaimana tersebat dalam PL. Menjadi menarik untuk mengandaikan; dengan
mengacu pada teori Harris, apakah dengan demikian status pelarangan babi bisa
diubah manakala bisa diternakkan? Ternyata tidak.
Buktinya, hingga saat
ini, manakala teknologi telah berkembang sedemikian pesat dan memungkinkan babi
bisa dikembangbiakkan di segala medan, hewan ini tetap meringkuk dalam
statusnya yang dianggap haram dan najis oleh kalangan Yahudi dan Islam.
Teori keempat adalah
teori trichinosis. Teori menyatakan babi, jika dimasak kurang matang, dapat
menimbulkan semacam infeksi yang disebabkan sejenis cacing parasit. Parasit ini
tidak hanya ada pada babi namun juga binatang lain, misalnya beruang, kucing liar,
rubah, anjing, serigala, kuda, anjing laut, atau walrus.
Apakah trichinosis telah
ada saat PL ditulis, ataukah teori ini datang belakangan untuk merasionalisasi
demonisasi terhadap babi? Yang pasti, hingga saat ini belum ada penyakit khusus
yang bersifat mewabah dan berbahaya dalam skala meluas yang ditimbulkan karena
mengkonsumsi babi.
Alih-alih, berbeda dengan
misalnya sapi. Hewan ini pernah membuat geger karena virus anthraxnya. Namun
toh sapi tidak lantas diharamkan karena kegegeran tersebut.
Mengapa Yahudi (dan
Islam) terasa lebih mengampuni sapi ketimbang babi? Ini pertanyaan yang
barangkali hendak dipecahkan oleh teori kelima, Saya menyebutnya sebagai teori
kesucian reproduksi patriarki.
TEORI KESUCIAN REPRODUKSI
PATRIARKI
Mengenai teori ini pertama
kali Saya baca dari tulisan Nicole Ruane, "Pigs, Purity and Paternity: The
Multiparity of Swine and Its Problems for Biblical Ritual and Gender
Construction,"
Ruane meyakini Yahudi
merupakan agama yang tidak hanya patriarki --sistem sosial dan budaya yang
menempatkan lelaki lebih unggul ketimbang perempuan-- namun juga patrilineal
--sistem garis keturunan yang bertumpu pada ayah.
Dua atmofsir ini, menurut
Ruane, membuat agama tersebut sangat menjaga kesucian dalam aspek reproduksi
dan seksualitas. Cara pandang ini, dengan sekuat tenaga,
diproyeksikan/direfleksikan terhadapa apa yang boleh dan tidak boleh mereka
konsumsi.
Dari semua hewan darat
yang dianggap suci dalam kitab Ulangan, babi dianggap "mbalelo,"
karena mempunyai satu kemampuan yang tidak dimiliki mereka. Yakni, mampu
bereproduksi secara luar biasa pada saat hewan-hewan tersebut hanya mampu
melahirkan tunggal atau kembar.
Sedangkan babi, ia
rata-rata mampu melahirkan 12 hingga 37 anak babi dalam sekali proses
kelahiran. Angka terakhir tadi berdasarkan catatan Guiness World Record di
Inggris tahun 1993.
Kemampuan reproduksi babi
yang sedemikian luar biasanya ini dianggap "mengganggu," superioritas
patriarki. Ada ketakutan hebat, lebih tepatnya; kecemburuan, dalam diri
patriarki, posisinya akan tersaingi oleh kemampuan seperti ini -- sungguhpun
hal tersebut hanya terjadi dalam hewan darat.
Patriarki terobsesi untuk
sedapat mungkin mengontrol apa saja, termasuk apa yang dianggapnya ideal dalam
galaksi kuliner. Semua harus tunduk dan menghamba pada kemasyhuran patriarki.
Tidak boleh ada yang berpotensi merusak kemasyhuran tersebut, terlebih oleh
perempuan dengan menggunakan faktor kesuburan reproduktif.
Yahudi-patriarki merasa
terganggu superioritas kesuburannya akan kalah mentereng dibanding kesuburan
perempuan dengan menggunakan faktor melimpahnya keturunan. Sangat mungkin
Yahudi-patriarki terobsesi tidak ingin meniru masyarakat Hittie, pilar kerajaan
Kusara di semenanjung Anatolia (1750-1650 SM).
Hittie yang begitu
mengagungkan kesuburan perempuan sebagai elemen superiotasnya, menurut Collins
dalam "Necromancy, Fertility and the Dark Earth," maupun "Pigs
at the Gate," bahkan dikabarkan memiliki semboyan heroik, "let her
give her often like pig,"
Bagi Yahudi-patriarki,
melahirkan 1 hingga 4 bayi secara bersamaan masih bisa ditolerir. Namun 12
hingga 37 anak sekaligus? Hal tersebut merupakan mimpi buruk yang harus
dicegah.
Bagi mereka; yang tidak
boleh terjadi dalam dunia manusia sedapat mungkin juga tidak boleh terjadi di
dunia hewan.
Bagi Yahudi-patriarki,
tambah Ruane, kesuburan reproduksi babi yang begitu melimpah juga menyisakan
problem imaji-psikologis; mereka kesulitan menentukan babi mana yang dianggap
sulung.
Memang, PL tidak membahas
khusus menyangkut aspek anak sulung babi. Hanya saja kesulitan ini memunculkan
konflik tersendiri di kalangan Yahudi-patriarki terkait ritus-biblikal yang
berhubungan dengan hewan persembahan.
Dalam PL, sulung dari
hewan darat yang diternakkan (termasuk babi, seharusnya) bukanlah binatan
sembarangan. Dia dianggap paling suci dan itu sebabnya memiliki privilage untuk
dipersembahkan kepada tuhan maupun Levites (Keluaran 13:12; Ulangan 15:19-20;
Bilangan 18:15-17).
Yahudi-patriarki, sekali
lagi, berupaya memproyeksikan keunggulan status sulung dalam sistem sosial
budaya mereka ke dalam ritus-biblikal yang berkaitan dengan hewan. Bukan
rahasia lagi, anak sulung dalam sistem Yahudi-patriarki, setidaknya tercermin
dalam PL, memiliki hak-hak khusus yang tidak dimiliki anak setelahnya, terutama
dalam hal garis keturunan dan pewarisan, yang juga dapat kita temukan dengan
mudah di sistem sosial-budaya kelompok lain.
Oleh karena
Yahudi-patriarki terlihat tidak mampu mengontrol model reproduksi babi maka
yang dapat dilakukan adalah mengeksklusi babi dari kehidupan sehari-sehari;
melabelinya dengan ketabuan, kenajisan, kekotoran serta aneka lainnya.
Memang, setiap agama
memiliki sistem ideologi dan ritual keagamaan yang tidak hanya unik namun juga
menarik untuk dicermati ketika menyangkut sesuatu yang boleh dan tidak untuk
dikonsumsi, termasuk agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Namun, sikap ideologis
Yahudi-patriarki terkait babi memang terasa cukup ganjil sebab, tambah Ruane
dalam tulisannya, terdapat agama-agama kuno yang, meskipun patriarki dan
patrilineal tetapi, tidak alergi mempersembahkan babi bagi Tuhannya.
Mungkinkah
Yahudi-Patriarki, melalui PLnya saat itu, tengah mengembangkan model baru dalam
sistem patriarki dan patrilineal? Benarkah model ini kemudian, secara
diam-diam, diikuti oleh bestienya, Islam? Hanya Alloh yang tahu.(*)
*Sumber: tempo.co dan aananshori.my.id