Dikatakan, dulu, orang yang bisa membuat berita adalah orang pintar dan pilihan yang memiliki hak istimewa serta mempunyai akses untuk menulis. Namun saat ini, siapapun bisa dengan mudah menulis di media sosial tanpa mengenal latar belakang, usia, dan kemampuan. Kini, sebuah tulisan itu juga bisa dengan mudah tersebar sampai ke penjuru dunia hanya dengan satu tombol.
Oleh karenanya, kata Anistia, fenomena ini perlu di waspadai,karena ketika hal ini terus terjadi tanpa adanya filter dan pendidikan literasi digital, maka akan banyak orang yang menyalahgunakannya.
Dalam webinar bertajuk Kebebasan Berekspresi di Dunia Digital ini, ia mengungkapkan bahwa dari 270 juta jiwa penduduk di Indonesia, lebih dari 65% adalah pengguna medsos. Yang artinya dengan sebegitu banyak orang yang menggunakan medsos, hal ini tentu bisa menjadi kekuatan yang besar, tergantung bagaimana pemanfaatannya.
“Ketika mendapatkan informasi misalnya, usahakan rasa ingin tahu kita ada. Kita cek dulu kebenaran informasi tersebut, asal-muasalnya, data, dan fakta dalam informasi itu,” tuturnya pada webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Informasi Republik Indonesia (Kominfo RI) ini.
Sehingga menurutnya, ada beberapa sikap penting yang harus dimiliki masyarakat di era digital saat ini. Di antaranya adalah perlu adanya rasa keingintahuan yang tinggi diiringi pikiran yang terbuka.
Sikap terbuka dalam beraktivitas di media sosial menurutnya akan menghindarkan diri dari perseteruan yang terwujud dalam bahasa kasar dan pedas karena tidak bisa menerima ide ataupun gagasan dari orang lain.
Namun Anistia juga mengingatkan agar masyarakat waspada dengan segala informasi yang beredar di medsos. Menurutnya, belakangan ini banyak sekali orang menyebarluaskan hoaks yang dibungkus seolah hal itu adalah bentuk ‘kebaikan’. Hal seperti ini pun tetap tidak boleh disebarkan.
Ia memberi contoh hoaks seputar kesehatan yang sering tersebar di berbagai platform medsos, seperti manfaat minum air A di setiap pagi, bahaya makan buah B dan lain-lain. Biasanya, di akhir berita tersebut bertuliskan: “Sumber: dari grup sebelah” atau “Jangan berhenti di kamu. Semoga dapat pahala dengan membagikannya.”. Kalimat ini bisa menjadi indikasi informasi tersebut hoaks.
“Sebenarnya, tujuan mereka baik. Pengen sharing, biar orang jadi sehat, berhati-hati, dan sebagainya. Cuma, itu berita benar atau tidak?” ujar pengurus PW IPPNU Lampung tersebut.
Oleh karenanya, Duta Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Provinsi Lampung 2020 itu menyarankan agar informasi seperti ini tidak perlu disebarkan karena akan mempengaruhi pola pikir. Sehingga yang menerima berita tersebut malas berpikir dan mencari tahu.
Masyarakat juga harus memiliki tenggang rasa di era medsos ini. Ini biasanya terjadi ketika terjadi beda pilihan politik yang biasanya menimbulkan perpecahan dan berdampak terputusnya tali silaturahmi, tidak saling sapa, bahkan ada yang saling memblokir pertemanan di Medsos.
“Sebenarnya ini lucu, yang nantinya terpilih saja belum tentu peduli dengan yang memilih. Lha mereka yang ikut kontestasi, kita yang bermusuhan. Saling menjelekkan di medsos. Kan merugikan diri sendiri,” tutur Anistia.
Kerendahan hati juga penting karena yang dianggap benar oleh kita, belum tentu benar di hadapan orang lain. Karena tidak ada kebenaran yang hakiki. Sehingga kecakapan digital penting dikuasai khususnya bagi generasi milenial untuk bersama-sama mendakwahkan ‘Indonesia lebih cakap digital.’
Hal ini dimulai dari lingkup yang paling dasar; keluarga, dengan memberikan edukasi kepada orang-orang terdekat untuk tetap waspada dalam menerima informasi yang berasal dari medsos.
Terlebih ketika mem-posting sesuatu. “Posting yang penting, bukan yang penting posting,” pungkas Anistia.
Kontributor: Disisi Saidi Fatah