MEDIA IPNU – Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kabupaten Way Kanan, Lampung, mengajak kader meningkatkan produktivitas dalam hal literasi. Ajakan itu diwujudkan melalui webinar bertajuk ‘Berkarya Melalui Tinta’, Sabtu (17/7).
Ketua PC IPPNU Way Kanan Faridatul Khusna mengatakan, webinar tersebut sebagai perantara atau wadah bagi para pelajar, mahasiswa, dan remaja, baik dari kalangan IPNU maupun IPPNU serta masyarakat umum untuk menambah wawasan dan ilmu, serta sebagai penyemangat untuk terus berkarya.
“Pengetahuan menulis sangatlah penting. Apalagi bagi generasi muda seperti kita. Skill menulis sangatlah dibutuhkan tidak hanya sebagai pemenuhan tugas sekolah maupun kuliah saja, terlebih di era globalisasi guna melawan arus informasi yang menyesatkan,” kata Farida.
Webinar tersebut diikuti kurang lebih 90 peserta dari berbagai daerah, seperti Sumatra, Jawa, dan Bali. Menghadirkan dua penulis muda yang hebat dan produktif, yakni Susan Arisanti, dan Marisa Oktari penulis novel Bhayanaka Sigrah asal Bengkulu, yang juga merupakan finalis 10 besar Author Rising 2020 yang diselenggarakan Penerbit Kata Depan.
Susan adalah penulis muda asal Way Kanan yang beberapa karyanya berhasil tembus pemasaran di Gramedia, dengan omzet lebih dari Rp.30.000.000 per buku. Karya-karyanya antara lain novel Serenade Jingga yang diterbitkan oleh Diva Press, Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Penerbit Pastel Books), Tsani Athaya Penerbit Melvana Media, dan Sangiang Pandita (Diva Press).
Menurut Susan, kegiatan menulis sangatlah penting, selain mengembangkan potensi dan minat, juga bisa menjadi sarana untuk melatih kecerdasan emosional. Baginya menulis bukan sekadar hobi, namun lebih ke self healing atau penyembuhan diri.
“Karena dengan menulis pikiran kita yang kacau bisa menjadi lega, fresh, bisa lebih tenang,” kata Susan.
Bagi dia, siapa saja bisa menulis dan menjadi penulis tanpa memandang umur, maupun garis keturunan. “Menjadi penulis yang baik tentu harus melewati proses, harus banyak melatih diri untuk menulis sebagai jam terbang dan harus banyak membaca agar kosakata dan diksinya bertambah,” tuturnya.
Senada Susan, bagi Marisa menulis selain menjadi hobi, kemampuan menulis sangat diperlukan terlebih di era globalisasi, terutama dalam penulisan non-fiksi atau esai.
“Kemampuan ini tidak hanya berguna dalam hal akademisi, nggak bisa ditampik skill menulis juga bisa menjadi pekerjaan yang mumpuni untuk waktu lama,” tutur dara kelahiran Bengkulu, 14 Oktober 2001 ini.
Sedang dalam fiksi, baginya dapat menjadi sebuah terapi bagi si penulis. Sebab, dengan itu ia semakin aktif dalam melakukan proses kreatif. “Karena dalam menulis fiksi kita diajak untuk berimajinasi sekaligus mengedepankan ide-ide dan fakta yang sesuai. Hal ini bisa menerapi otak kita,” tambahnya.
Mahasiswi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bengkulu itu mengutip Pramoedya Ananta Toer ‘Menulis adalah bekerja untuk keabadian.’ Hal inilah yang sampai kini membuat dirinya semakin bersemangat.
“Karena yang bakal abadi di saat kita tidak ada lagi salah satunya adalah karya yang baik dan bisa dikenang sekaligus bermanfaat bagi orang lain,” tutupnya.
Kontributor: Disisi Saidi Fatah
________________________________________
Berita ini telah terbit di NU Online.